Kisah Tita - Perselingkuhan di rumah
Kehidupan rumah tanggaku yang baru berjalan beberapa bulan memang
terlihat cukup bahagia dari segi materi walaupun kami masih tinggal di
'Pondok Mertua Indah'. Rumah yang berada di daerah Bekasi ini adalah
milik orangtua dari suamiku. Sebenarnya kami berniat untuk memiliki
rumah sendiri, namun dikarenakan ibu mertuaku menyandang status janda
sedangkan anak-anaknya yang lain sudah memiliki keluarga dan sibuk
dengan urusan rumah tangganya masing-masing, maka aku dan suamiku
memutuskan untuk tetap tinggal di sini.
“Mas... Udah mau berangkat ya?” aku bertanya kepada suamiku yang sudah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya.
“Iya... Kenapa? Masih kangen ya? Nanti palingan juga pulang cepet kok...” balas suamiku sambil tersenyum.
“Eehmm... Tau nih Mas... Abisnya kita udah lama nggak... I-itu tuh... Enggh... Kan mumpung lagi nggak ada orang di rumah...” aku merengek manja.
“Aduuuh... Mas juga pengen kok... Tapi Mas udah mau berangkat kerja... Takut telat nih... Mas janji deh nanti malem ya...” ujar suamiku yang dapat mengerti dengan maksudku kemudian bergegas ke arah pintu depan.
“Ya udah deh... Hati-hati di jalan ya Mas… Jangan ngebut-ngebut loh... Terus juga inget sama janjinya ya...” ucapku sambil tersenyum manis lalu mencium lembut tangan suamiku.
“Hahaha... Iya… Baik-baik juga ya di rumah...” suamiku tertawa mendengar perkataan istrinya tadi lalu segera menaiki motornya untuk berangkat kerja.
Suamiku yang merupakan seorang pegawai di salah satu Bank pemerintah adalah seorang pekerja keras. Dahulu sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan suamiku ini, namun karena melihat kalau dia mencintaiku dengan tulus akhirnya aku bersedia dinikahi olehnya.
“Huuuffh... Sendirian lagi deh...” gerutuku dalam hati.
Karena sudah tidak bekerja lagi setelah menjadi seorang istri, aku pun mencoba mengisi waktu luang dengan menonton TV, membersihkan rumah dan kegiatan lain yang sering dilakukan oleh ibu rumah tangga. Walaupun aku sudah mencoba usaha menjual pakaian secara online melalui Facebook, namun tetap saja setiap hari rasanya berjalan lama sekali. Akhirnya aku teringat kalau pagi itu aku belum mencuci pakaian. Kemudian aku pun mengambil pakaian kotor dan segera menuju ke kamar mandi.
Setelah sekitar 1 jam berlalu dan sedang bersiap untuk menjemur pakaian, aku mendengar suara pintu pagar rumah dibuka.
“Siapa ya? Apa ibu mertuaku udah pulang?” tanyaku kepada diri sendiri.
Kemudian aku bergegas berjalan ke arah pintu depan dan untuk memastikannya. Ternyata di luar dugaan yang berdiri di depan pintu adalah Amar, adik laki-lakiku. Tentu saja aku tidak menyangka kalau dia yang datang, karena biasanya Amar mengunjungiku pada hari libur saja, itu pun bersama adik-adikku yang lain.
“Eh… Si Amar… Kok tumben? Sendirian aja? Emang lagi nggak ada kuliah?” aku langsung mengajukan banyak pertanyaan kepadanya.
“Teteh bukannya nyuruh masuk malah nanya-nanya Amar sih? Hehehe…” jawab adikku sambil tertawa.
“Oh iya Teteh lupa…! Abis nggak biasanya maen kemari… Ya udah buka aja Mar… Nggak digembok kok…” aku pun jadi ikut tersenyum.
“Amar capek banget nih Teh abis perjalanan jauh...!” adikku berkata sambil membersihkan wajahnya yang berkeringat.
“Ya elaaah...!! Manja amat sih sekarang...! Ayo masuk deh...” aku meledeknya namun tetap membukakan pintu gerbang.
“Tapi ngeliat Teteh rasa capek Amar langsung ilang kok...” ujar adikku sambil memasukkan motornya ke halaman.
“Basi banget deh...!!” kataku lalu mencubit pelan pinggangnya.
Setelah adikku sudah berada di dalam rumah aku mempersilahkan dia untuk duduk di ruang keluarga yang penuh dengan nuansa hijau tua.
“Bentar ya Mar… Teteh lagi mau jemur baju dulu… Kamu tunggu aja di situ yah… Bikin minum aja sana…” suruhku lalu berpamitan.
“Sini Amar bantuin Teh… Lagian nggak sopan banget sih masa tamu disuruh bikin minuman sendiri?” canda adikku.
“Yeee…! Bukannya lebih nggak sopan lagi kalo tamu disuruh bantuin jemur?” balasku.
Amar tersenyum lebar yang memperlihatkan giginya yang berukuran besar. Tapi tentu saja tawaran adikku tadi tidak kutolak. Lagipula lebih meringankan pekerjaanku dan akan lebih cepat selesai. Saat sedang menjemur pakaian, beberapa kali dapat kulihat Amar terus mencuri pandang saat aku sedang memeras bra dan celana dalam milikku. Walaupun aku dan Amar pernah memiliki hubungan yang ‘istimewa’, namun tetap saja aku merasa risih diperhatikan seperti itu. Namun aku pikir tanggung karena sebentar lagi pekerjaan ini selesai dan aku akan ke kamar untuk segera berganti pakaian.
“Amar udah sarapan belum?” tanyaku berbasa-basi sambil terus menggantung pakaian.
“Eh... Be-belon laper kok Teh...” jawab adikku dengan sedikit canggung.
Setelah seluruh pakaian sudah dijemur, aku menyuruh Amar untuk menonton TV di ruang keluarga yang penuh dengan nuansa hijau itu sambil menungguku membersihkan diri dan berganti pakaian.
“Teteh mau kemana sih? Sini ajah... Temenin Amar nonton dong...” panggil Amar sambil menengok ke arahku.
“Iya nanti... Teteh mau mandi dulu... Keringetan nih abis jemur...” jawabku yang kemudian mengambil handuk dari kamar tidur dan bersiap untuk mandi.
Di dalam kamar mandi aku menanggalkan seluruh pakaian hingga terlepas seluruhnya. Kemudian aku mengguyur tubuhku dengan air lalu mulai menggosok badan dari kotoran dan keringat yang melekat. Perlahan dengan penuh perasaan aku membersihkan leherku dengan sabun. Tiba-tiba selintas aku melihat sekelebat bayangan di celah pintu kamar mandi. Rasanya seperti ada orang yang sedang mengintipku.
“Ah... Palingan itu si Amar lagi lewat doang...” hiburku dalam hati lalu kembali melanjutkan ritual mandi yang sempat tertunda.
Sebenarnya aku berniat ingin melupakan bayangan orang yang berdiri di depan tadi. Namun ternyata aku masih dapat melihat kalau sosok tersebut masih berada di depan kamar mandi.
“Apa adikku udah kebelet pengen ke kamar mandi ya? Tapi kok nggak manggil namaku? Atau setidaknya kan bisa ngetok pintu?” berbagai pertanyaan muncul di benak ini.
Tentu saja aku jadi berpikiran kalau adikku memang sengaja ingin mengintipku. Apalagi aku kemudian teringat tingkah lakunya saat kami berdua sedang menjemur pakaian. Lama-kelamaan aku terbawa oleh imajinasiku sendiri yang semakin mendorong gejolak nafsuku. Saat ini tanganku sudah beralih ke bagian payudara.
Aku mengambil sabun lalu kugosokkan ke daerah tersebut hingga busanya menutup sebagian dari buah dadaku yang mungil.
“Ennngggh... Ehhhhm...” pikiran erotisku barusan membuat aku mulai mempermainkan puting susuku hingga aku sedikit menyeringai.
Berikutnya, kugosokkan sabun ke perut, kemudian juga ke pinggang dan pinggul. Seusai menyabuni seluruh bagian tersebut, aku mengambil air untuk disiramkan ke tubuhku. Aku tahu air yang menyiram dan mengaliri tubuh ini akan membuatnya nampak bening dan mulus karena pantulan cahaya yang menerpa. Sesekali aku juga membuat gerakan membungkuk. Dengan cara itu, adikku pasti akan dapat menikmati bongkahan pantatku yang kecil namun cukup padat.
Di saat melakukan ini semua, secara perlahan aku mendesah dalam bayangan kenikmatan birahiku. Setelah yakin bahwa seluruh bagian tubuhku telah bersih, aku mengambil handuk dari gantungan untuk mengeringkannya. Hanya dengan berbalut selembar handuk yang menutupi dari bawah ketiak hingga sejengkal dari pangkal paha aku pun bersiap untuk keluar dari kamar mandi.
Namun di luar perkiraanku ternyata di ruang TV aku mendapati kalau adikku sedang menonton dengan santainya.
“Jangan-jangan tadi bukan Amar? Waduh... Pasti pikiranku aja nih yang ngaco...” ujarku yang jadi merasa bersalah karena sudah menuduhnya.
“Ada acara bagus nggak Mar? Teteh mau ganti dulu yah...” kataku kepada Amar yang mungkin tidak menyangka kalau kakaknya akan keluar dari kamar mandi dengan penampilan seperti ini.
“Eh-eh... I-iya Teh...” sahutnya sambil menatap tanpa berkedip seolah-olah ingin menerkam diriku.
Aku kemudian beranjak pergi dan membiarkan Amar mengawasi lenggak-lenggok tubuhku yang berbalik meninggalkannya. Di dalam kamar aku membuka handuk yang tadi aku gunakan lalu berpakaian lengkap. Karena merasa cukup lelah aku merebahkan tubuh sejenak. Ketika sedang berbaring di tempat tidur sempat terlintas di benakku apakah yang aku lakukan di hadapan Amar tadi akan dianggap seperti sengaja ingin menggodanya? Namun aku berusaha untuk mengabaikan pikiran tersebut hingga tanpa terasa akhirnya aku terlelap dengan cukup pulas.
Dalam keadaan setengah sadar aku dapat mendengar seseorang membuka pintu kamar ini. Keberadaan orang tersebut terasa semakin mendekatiku. Beberapa waktu kemudian ranjang ini terasa bergoyang karena sepertinya dia sudah duduk di sebelahku. Kemudian tiba-tiba dia menindih tubuhku yang masih tengkurap, sementara tangannya meraba-raba betisku. Selanjutnya tangan tersebut mulai merayap naik ke bagian pahaku. Namun karena masih berada di antara alam tidur dan kenyataan, aku mengira saat itu sedang mimpi berhubungan intim dengan suamiku.
Apalagi saat tangan tersebut membelai-belai selangkanganku yang masih tertutup celana dalam itu, aku merasa bahwa itu adalah jilatan-jilatan dari suamiku. Ketika bagian-bagian tubuhku terus disentuh dan digerayangi aku mulai tersadar dari tidurku namun tidak langsung membuka mata.
“Heeeem... Kulit Teteh gue emang mulus banget…” dengan mata terpejam aku masih dapat mengenal jelas suara setengah berbisik tersebut.
Tentu saja jantungku berdetak dengan sangat kencang ketika mendapati kenyataan bahwa pelakunya bukan suamiku melainkan adalah Amar. Karena tidak ingin tangannya merayap lebih jauh lagi maka aku mulai merapatkan kedua pahaku. Adikku rupanya tidak menyerah begitu saja. Tangannya kini mulai berpindah ke daerah payudaraku, yang hanya terlindungi oleh kaos tanpa bra, kemudian meremas-remasnya secara lembut dan perlahan. Jari milik adikku seolah-olah menari diatas dadaku sambil sesekali memilin pelan putingnya.
“Wuiiih... Makin kenyel aja nih toketnya... Hehehe...” lanjut adikku sambil terkekeh pelan.
Diperlakukan sedemikian rupa aku pun akhirnya tidak dapat menahan diri lagi untuk berpura-pura masih terlelap.
“Ya ampuun Amaaar…!! Apa-apaan siih kamu!?” aku lalu membuka mata kemudian berteriak supaya sandiwaraku benar-benar tampak meyakinkan.
“Eeeh... A-amar pengen bangunin doang kok... A-abis Teteh pules amat tidurnya...” kata adikku beralasan.
“Hayooo ngaku aja Mar...! Sebenarnya kamu mau ngapain Teteh sih?” aku mencoba untuk membuat Amar berkata jujur walaupun sebenarnya diriku sudah mengetahui apa yang dia lakukan dari tadi.
“Teeeh… Amar udah pengen bangeeet…!” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut adikku sebelum dia mencumbu bibirku dengan ganas.
“Ja-jangaaaan...!! Inget Mar… Emmmhh... Te-teteeeh kan u-udaaah nikaah…! Teteh nggak mau selingkuh...!!” saat aku tersadar bahwa semua ini salah.
“Ayo dong Teeeh… Sekali ini ajaaaa… Amar bener-bener udah nggak tahan…” adikku merayu dengan tatapan mata yang memelas namun penuh birahi.
“Ta-tapi Mar…” kataku yang hendak beranjak pergi namun tubuhku justru memilih untuk tetap pasrah.
“Rasanya kepala Amar jadi mau pecah gara-gara napsu ngintip Teteh di kamar mandi tadi… Sekarang udah kentang nih...!” keluh Amar yang seolah-olah kejadian ini murni karena kesalahanku.
Walaupun alasan adikku ada benarnya, namun tetap saja aku tidak berniat untuk memancingnya agar berbuat sampai sejauh ini. Tetapi satu hal yang pasti adalah dugaanku memang tepat kalau ternyata orang yang berada di depan pintu saat aku mandi adalah Amar. Beberapa saat kemudian tangan adikku yang kurus melayang lalu mulai meraba-raba pada bagian dadaku.
Mungkin karena belum merasa cukup puas dia menaikkan kaosku ke atas hingga melewati kepala dan membuangnya ke sudut ruangan.
“Hehehehe...” adikku tertawa licik saat melihat payudaraku yang terpampang bebas dengan putingnya yang sudah menonjol karena terangsang.
Memang ukuran payudara tersebut tidak besar, namun sangat proporsional dengan bentuk tubuhku.
“U-udaaah yaaa Maaar... Nanti... Ennngghh... Ada yang liaaat...” aku masih berusaha melarangnya sambil mendesah karena saat ini Amar mulai mencumbui bagian samping leherku.
“Halaaah... Siapa yang bakal ngeliat sih Teh? Kan pada belom pulang ini... Lagipula pintunya udah dikunci kok...” jelas adikku menggunakan berbagai jenis alasan.
Terus-menerus mendapat perlakuan seperti itu, ditambah kenyataan kalau aku dan suamiku sudah lumayan lama tidak berhubungan seks, tentu saja pertahananku akhirnya bobol juga. Birahi binalku muncul kemudian pada saat bersamaan darah ini terasa menggelegar kuat memancarkan gairah liar. Apalagi ketika lidah basah Amar menyapu telak di sepanjang batang leherku.
“Ouuughh... Maaaarrr...!! Ssssshhh...!!” aku sungguh tidak tahan dan mulai menggerakkan tubuh ini dengan gerakan sensual merasakan sensasi dicumbui oleh adikku sendiri.
Patut diakui kalau Amar memang sungguh pandai membangkitkan nafsu birahiku karena dia sudah paham benar titik mana saja yang sensitif untuk merangsangku. Menyadari hal tersebut, ciuman Amar terus merambat turun ke pundakku. Dia menjilatinya hingga aku menggelinjang. Tanpa ingin kehilangan waktu sedetik saja mulut Amar mulai mendarat di payudara kananku. Telapak tangannya meremas-remas payudaraku sambil sekali-sekali ibu jari dan telunjuknya memilin-milin puting susuku. Lidahnya kini bermain-main dengan liar di atas putingku.
Pertama-tama lidah adikku hanya menyapu bagian tersebut saja, namun tidak lama kemudian mulai berjalan memutari seluruh daerah di sekitarnya, sebelum diakhiri dengan menyedot habis puting tersebut hingga pipinya semakin terlihat kempot.
“Aaahhh... Aaahhh... Aaaaahhh...!!” desahanku saat ini terdengar lebih serak.
Diriku yang memang sudah dilanda birahi hanya bisa menikmati saja ketika mulut Amar dengan bibir tebalnya menyiksa puting payudaraku dengan semakin buas.
“Ohh... Geliiii Mar...!” aku memekik.
Rasa tersebut dibarengi dengan mulai tumpahnya cairan-cairan cinta yang membasahi rongga liang senggamaku. Aku sudah kewalahan untuk mengalihkan gairah yang berubi-tubi disusupkan oleh Amar. Gairahku terpompa naik dengan cepat oleh setiap sentuhannya.
“Aaaaaah… A-maaaaaar…!!!!” aku mendesah semakin kencang akibat aksinya.
“Hussshhh...! Jangan keras-keras Teh... Nanti kedengeran tetangga loh...!” ucap adikku mengingatkan.
Mulut adikku kini berganti-ganti menghisap kedua payudaraku. Aku yang sudah sangat terangsang itu mulai mengelus-elus rambut Amar. Padahal sebelumnya aku sudah berjanji dengan diriku sendiri untuk tidak akan pernah lagi melakukan hal seperti ini dengan lelaki lain, termasuk Amar setelah menikah. Gejolak hatiku memang sedang berperang di dalam diri ini, tetapi pada kenyataannya Amar benar-benar sudah menaikkan nafsu birahiku hingga sekarang celana dalam yang kugunakan terasa lembab dan lengket.
Pandangan cabul Amar pada setiap lekuk tubuh ini semakin jelas terpancar dari matanya dan mulai aku rasakan sebagai penambah birahi hingga membuat cairan vaginaku keluar lebih banyak lagi.
“Celananya Amar buka yah…” bisik Amar yang sudah bersiap menarik celana pendekku.
“Maaar…!” kataku yang sesungguhnya berniat untuk menolak.
Namun yang terjadi selanjutnya adalah tangan adikku dengan perlahan-lahan mulai dengan melucuti celana pendek beserta celana dalamku hingga bugil. Bahkan dengan nakalnya Amar menciumi celana dalamku dengan penuh perasaan, lalu menjilati bagian tengahnya yang sudah dibasahi oleh lendir kemaluanku. Melihat tingkah lakunya itu aku malah semakin terangsang dan membuatku merasa seksi.
Sepertinya Amar kini juga sudah mengetahui kalau penolakanku tadi terkesan setengah hati karena pada kenyataannya aku diam saja saat jari-jari panjangnya membelai bibir vaginaku yang sudah basah.
“Eeemmm… Aaahhh... A-amar nggak sabaran banget sih… Eenggh...” kataku yang kini tidak lagi berniat mencegah perlakuannya.
Mendengar ucapanku barusan membuat Amar tersenyum mesum sambil memandang wajahku dengan tatapan lapar.
“Abisnya badan Teteh sangatlah berbahaya bagi jiwa dan kontol Amar sih... Terlalu napsuin...!! Hehehe...” ujarnya berkelakar.
“Huh dasar kamu Mar...! Masih aja sempet ngomong kayak gitu...!” kataku namun jadi ikut tersenyum.
Adikku kemudian menelan ludah saat sedang memandangi bukit gundul yang indah di tengah-tengah selangkanganku. Biarpun Amar sudah sangat sering melihatnya, namun aku yakin tidak akan pernah ada laki-laki yang bosan melihat vagina milikku yang mulus dan sedap dipandang. Apalagi walau sudah menikah, namun kedua bibir vaginaku masih menutup dengan sangat rapat. Warna kulit di sekitar vaginaku juga cukup putih yang tentu saja membuatnya semakin menggoda.
“Uuhhhhhh... Amaaaaar... Nghhhhh...” aku terus merintih dengan nafas tertahan saat dua jari adikku menusuki belahan vagina.
Sensasi yang diperolehku semakin bertambah tinggi. Tubuh kecilku tersentak-sentak oleh efek dari serangannya. Tampak jelas apabila aku sudah memasrahkan diri sepenuhnya dengan membiarkan Amar untuk dapat terus menusuk-nusuk vaginaku yang semakin basah dan memerah.
“Gimana Teteh geulis? Enak banget kan? Sampe banjir kayak gini...” celoteh Amar nakal.
“Ooooooh... Maarrr...!! Sssshhh...!!” desahku kembali terucap.
Setelah puas bermain pada vaginaku yang jepitannya sangat ketat walau hanya dimasuki dengan jari tangan, adik laki-lakiku kemudian menyudahinya. Jari-jari yang tadi bersemayam di dalam rongga kewanitaanku kini tampak basah dan berkilat oleh cairan putih. Amar pun dengan lahap langsung menjilatinya hingga bersih.
Pada saat yang bersamaan tiba-tiba terdengar bunyi SMS masuk ke HP milikku. Namun tentu saja aku yang sedang dilanda gairah tinggi enggan untuk sekedar membaca apa isi pesan tersebut.
“Sekarang Amar pengen ngerasain langsung dari memek Teteh aaah...” imbuh Amar seraya mengarahkan mulutnya di depan liang senggama milikku.
Kemudian dengan tergesa-gesa Amar mulai melebarkan kedua kakiku hingga daerah intim yang berada di tengahnya semakin terlihat jelas. Tanpa memberi ampun lagi, Amar mulai membenamkan wajahnya di selangkanganku. Dia menghirup kuat-kuat aroma dari vagina milikku itu. Jadilah aku semakin bergerak-gerak tidak karuan menerima cumbuannya yang bertubi-tubi pada daerah pribadiku.
“Eeeemmpphh… Sluuurpphhh… Sluuurphhh…” adikku melahap nikmat kemaluan yang dulu jadi santapannya hampir setiap hari.
“Ooohh... Aaah... Oooohh... Uuuunggh...” suara-suara tertahan serta desahan nafasku memecah kesunyian di pagi itu.
Seperti layaknya seekor ular lidah Amar menelusup ke dalam celah vaginaku kemudian menari-nari menyapu pada bagian dalamnya.
“Ssssshhh...!! Uughhh...!! Maaar... Amaaaarrr... Kamuuu pi-pinteeerr bangeeet siiihhh...! Te-terruussshhh...!!! Aaaaaghh...!!” erangku terbata-bata dan terus menggoyang pinggul seiring dengan gerakan lidah kaku Amar yang keluar masuk menyetubuhi vaginaku.
Dengan bantuan kedua tangannya, Amar membuka bibir vaginaku untuk membuat ruang bagi lidahnya. Sentilan ujung lidah adikku membuat tubuhku bergetar seperti disengat aliran listrik. Apalagi saat lidah tersebut kini mencapai bagian klitoris yang membuatku semakin megap-megap merasakan gelombang libido hingga menekan kerongkonganku yang sudah terasa sangat kering.
“Aaaaauuuuuh…” kedua pahaku menutup seketika menjepit kepala Amar saat merasakan ada benda lunak dan hangat yang mengenai bibir kemaluan milikku.
“Memeknya Teteh makin wangi aja nih…! Abis kawin makin rajin dirawat ya Teh?” kata adikku di tengah melancarkan aksinya.
Tanpa menunggu jawaban dariku, Amar pun kembali menjilati vaginaku. Namun kali ini dia lebih banyak menggunakan lidahnya untuk menyentuh bagian klitorisku. Kedua Kombinasi dari kecupan, hisapan dan jilatannya yang liar membuatku menggelepar-gelepar menahan rasa nikmat yang menggelitik.
“Sssshhh… Aaaaaaahhh…!!” aku hanya bisa mendesah kencang karena terangsang.
“Aaaaaahhhh… Mmmmhhh… Hhhmmhhhh…” lirihku yang sudah mulai menyerah pada serangan lidah Amar di bawah sana.
Tidak terbayangkan apa jadinya apabila saat itu suamiku menyaksikan istrinya yang sudah tidak mengenakan penutup apapun, sedang menikmati jilatan pada selangkangannya oleh pria yang tidak lain merupakan adik kandung istrinya sendiri! Namun perasaan itu malah membuatku menggelepar-gelepar merasakan rasa nikmat sekaligus sensasi seks sedarah yang sungguh luar biasa. Adikku juga betul-betul menikmati setiap jengkal dari alat kelamin kakaknya tersebut.
“Aaahhhhh... Terus Maaar...!! Iyaaaah di situ... Ngghh... Te-teeerruuusss...!!!!” kataku sambil terus mengeliat-geliat hingga Amar tambah bersemangat melakukannya.
Jilatan Amar semakin menjadi-jadi, lidahnya menjilat hingga masuk ke lubang vaginaku. Memang aku sudah lama tidak berhubungan seks dengannya, sehingga ada perasaan yang kuat untuk dapat merasakannya kembali.
“Hmmmm… Amaaaaaaar…!! Nikmaaaaat... Sssshh....” desahku sambil menggigit pelan bibir bagian bawah.
“Sluurrrpp... Kata Teteh tadi nggak mau selingkuh? Hmmm....” pertanyaannya sungguh mengejekku.
“Abisnya enaaaak bangeeeet...! Aaaaaaah...” kataku yang sudah gelap mata.
Vaginaku tidak ubahnya seperti makanan yang sangat lezat bagi Amar yang ingin dia nikmati sampai habis. Selangkanganku pun sudah basah kuyup dengan air liurnya yang bercampur dengan cairan vaginaku.
“Ooooouuugh…” tiba-tiba aku merasakan tubuhku bergetar hebat seketika.
Ternyata saat itu Amar sedang bermain pada bagian klitoris dengan lidahnya sekaligus memainkan jari-jari kurusnya pada lubang kenikmatanku. Aliran listrik yang mengejutkan terus aku rasakan menjalar di sekujur tubuh. Dari mulutku terus keluar desahan-desahan lepas dengan suara yang begitu menggairahkan bagi yang mendengarnya. Adikku semakin menggila setelah mencicipi lelehan lendir yang mulai keluar dari vaginaku. Melihatku yang lebih terangsang pada saat tersentuh di bagian klitoris, Amar terus melancarkan serangan-serangan lidahnya pada benda kecil tersebut.
“Aaaaaahhhh… Eemmmhhh… Maaaar…!! Uuuungggh…” aku terus mendesah sejadi-jadinya ketika merasakan nikmat yang luar biasa.
Seperti ingin mempermainkan emosiku Amar terkadang menghentikan jilatannya selama beberapa waktu sembari melihat ke arah wajahku yang saat ini pasti sudah memerah karena dilanda birahi yang tinggi. Hal ini tentu saja membuatku menjadi semakin tersiksa.
“Enak kan dijilatin Amar?” goda adikku di sela-sela aktivitasnya.
“I… I-iyaaaa… Maaar…. E-enaaaakkkhhhh… Ooooooohhhhh…” kataku dengan terbata-bata akibat dirangsang sedemikian rupa.
Amar tersenyum senang setelah mengetahui bahwa mangsanya ini merasakan nikmat dari ulah perbuatannya. Tubuhku semakin menegang dan kakiku menjadi kaku serta kedua pahaku semakin menjepit kepala Amar. Secara spontan aku menekan kepala Amar ke vagina milikku dengan kedua tangan, seperti ingin membekapnya.
“Kalo enak buka pahanya yang lebar dong Teh… Kepala Amar jangan dijepit… Sakit nih…!” canda Amar sembari meremas-remas paha putih mulus milikku.
Tanpa sempat tersenyum mendengar gurauannya, aku langsung melebarkan kedua paha yang tentu saja memberi keleluasaan kepada Amar untuk dapat menikmati vaginaku. Setelah menunjukkan senyum kemenangan pada wajahnya, Amar langsung menyerbu kembali vaginaku dengan gencar. Aku sampai kewalahan dan menggeliat-geliat hebat. Kepalaku mengarah ke kanan dan ke kiri, vaginaku mulai berkedut-kedut serta desahanku begitu lepas. Diriku sangat yakin kalau wanita manapun akan bereaksi sama sepertiku saat ini karena lidah Amar benar-benar lincah bermain.
“Maaaar…!! Amaaaaaar…!!!!” lenguhku sambil memegangi kepala adikku dengan kencang.
“Oooohh.... Oooohhh... Maaar...!! Te-teteeeeeh... Ke-keluaaarr...!!" desahku ketika mencapai orgasme yang diiringi aliran deras lendir kewanitaanku.
“Sssrpphhhh… Sslluuurrpphhh... Nyaaaaaam...” Adikku menyeruput dan menyedot dengan sangat kuat seakan tidak ingin melewatkan satu tetes pun cairan vaginaku.
“Oohh... Oooooohh... Aaaaahh... Aaaaaaahhh...!!” aku mendesah sejadi-jadinya dengan tubuh terus bergerak liar.
“Waaaah… Keluarnya banyak banget sih Teh? Udah luber begini... Hmmmm... Pasti enak banget yah memeknya diisep sama Amar? Sluuuurpphh...” komentar adikku sambil terus menyeruput cairan cintaku yang masih tersisa.
“Huuuaahh... Udaaaah...!! Sttoooopp...!! Ooooohh... Sssshh...” erangku sambil berusaha menjauhkan wajahnya dari selangkanganku karena tidak dapat menahan lagi kenikmatan duniawi ini.
Tetapi adikku justru tidak mau memindahkan mulut dan jilatannya dari vagina yang masih dibanjiri oleh cairan nikmat tersebut. Kini lidah Amar seolah sedang menyeka seluruh belahan vaginaku yang bukan membuatnya menjadi kering melainkan semakin basah. Tanganku mencengkeram erat pada tempat tidur sementara kepalaku bergoyang-goyang dengan liar merasakan kenikmatan yang mendera. Tubuh mungilku terus bergetar keras menahan sensasi yang semakin menggila.
“Sssruuupphh... Gluukkk... Sleeerpphhh... Mmmmm... Enaknyaaa jus memek buatan Teteh... Hehehe...” ujar Amar yang pada ujung bibirnya masih terlihat lelehan cairan kewanitaanku.
“Maaaar… Teteeh… Nggggh…” hanya kata-kata tersebut yang dapat keluar dari mulutku yang sedang terengah-engah dengan nafas panjang dan pendek.
“Kenapa Teh? Enak kan? Mau Amar terusin?” goda adikku.
Aku hanya menghela nafas karena tahu kalau perbuatan kami berdua sudah tidak dapat dihentikan dan akan berlanjut ke tingkat yang lebih jauh lagi. Lagipula Amar masih tampak begitu bernafsu karena dirinya merasa belum terpuaskan. Sebenarnya cukup berat bagiku untuk melayani Amar saat ketika sadar bahwa kini aku telah bersuami. Namun vaginaku yang dari tadi dirangsang membuat gairah seksualku ikut terbangkitkan dan tidak memakai akal sehat lagi.
“Sekarang giliran Amar dong Teh…” pinta adikku yang tanpa malu-malu segera menurunkan celananya tepat di depan wajahku.
“Waaah... Udah keras aja sih Mar?” kataku spontan ketika melihat penis miliknya.
Jantungku bekerja lebih keras ketika melihat penisnya yang sedikit kehitaman kini sudah tampak berdiri tegap dengan sempurna. Apalagi mengingat kenyataan bahwa ukuran kemaluan adikku yang memang jauh lebih besar dibandingkan milik suamiku. Saat mataku bertatapan dengan matanya, aku dapat melihat kalau pandangan Amar begitu liar. Adikku kemudian menelanjangi dirinya sendiri dengan membuka baju miliknya yang masih melekat. Sementara itu aku yang sudah mengerti akan apa yang diinginkan olehnya langsung meraih penis yang sudah sangat tegang itu dengan tangan kananku.
Nafasku semakin kencang saat telapak tanganku mengelus-ngelus batang kemaluan milik adikku yang hangat dan berkedut seperti mahluk hidup.
“Punya Amar tambah gede aja...” bisikku sambil terus sibuk membelai kejantanan Amar.
Sepertinya memang benar kalau benda tersebut memang sedikit lebih besar daripada ketika terakhir kali aku melihatnya. Tanpa merasa perlu terlalu lama berbasa-basi, dengan sangat lembut aku mulai memijat benda tersebut kemudian mengocoknya secara perlahan.
Amar hanya terseyum melihat tingkah kakaknya yang sudah mengerti dengan apa yang dia inginkan tanpa perlu diperintah lagi.
“Eeemmmm... Mmmhhh...” adikku menggumam saat aku mulai meningkatkan irama kocokan pada penisnya.
Aku meremas sekaligus menekan batang penisnya ke arah atas dan bawah lalu mengulang gerakan seperti itu seterusnya. Telapak tangan milikku yang berukuran kecil ini tampak tidak sanggup untuk menggenggam seluruh batang tersebut. Gerakan tanganku yang sudah sangat lancar terus mengocok-ngocok batang kemaluan adikku.
“Hmmmm… Enaaaaak…!! Teteh pasti udah kangen ya sama kontol Amar? Hehehe…” goda adikku sambil tertawa.
“I-iya Mar… Teteh kangeeen…” sahutku pelan.
Dengan tidak sabar aku melingkarkan bibirku pada ujung penis Amar yang tumpul membengkak dan berkedut-kedut. Lubangnya yang mungil kini mulai mengeluarkan sedikit cairan bening. Adikku tentu saja dapat dipastikan sangat menikmati perlakuan dari saudari kandungnya ini.
“Aaaahhh...” adikku melenguh sambil memejamkan mata menikmati setiap gerakan lidahku.
Dalam jarak sedekat itu sudah pasti aroma khas penis Amar semakin jelas tercium oleh hidungku yang kemudian aku hirup kuat-kuat hingga membuatku lupa diri. Di dalam hati ini sudah tidak ada keinginan untuk mengingat atau mungkin karena tidak ingin menerima kenyataan bahwa kami berdua adalah kakak dan adik sekandung. Kurasakan kedua putingku semakin mengeras bersamaan dengan lidahku menyentuh kulit di buah zakarnya. Rasa asin mulai menghinggapi lidahku.
Kuangkat kepalaku ke atas dengan lidahku masih menempel di kulitnya lalu terus bergerak hingga ke ujung kepala penisnya. Lalu aku membuka mulut lebar-lebar dan membimbing penis di dalam genggamanku tersebut untuk masuk ke dalam mulut mungil ini.
“Anjrrriiit...!! Enaaaaak bangeeeet...!!! I-iseeeppp terusss… Yang kuaaaat Teeeeh… Aaaarrrgggh…” perintah Amar sambil menjambak rambutku.
Tidak aku hiraukan perlakuan kasarnya tersebut karena yang tersisa sekarang hanyalah nafsu untuk menghisap-hisap batang panjang milik adikku ini. Aku terus menyedot kuat-kuat hingga Amar mengerang keenakan. Benda itu semakin terasa berdenyut di dalam mulutku.
“Aaaaaghhh...!!! Teteeeeh...” pekik Amar ketika penis kebanggaannya aku telan mentah-mentah masuk ke dalam mulut mungil ini.
“Mmmmmh… Sluuuurp… Nyeeeem...” aku mencoba untuk menelan seluruh bagian penis Amar hingga dia semakin berada di awang-awang.
“Auuuuh… Teteh makin jago aja nih! Oooooh...” puji Amar ketika merasakan sensasi yang ditimbulkan dari hisapan bibirku yang lembut, hangat dan basah.
“Gimana Mar… Sluuuuurp… Rasanya? Hmmmm… Sluuurp…” tanyaku terputus-putus karena saat ini sedang bergantian antara menjilati penisnya secara memutar, memainkan lubang kencingnya lalu mengulum dan menghisap penis tersebut.
“Oooohh... Pastiiinyaaa enaaak Teeeh...! Pagi-pagi beginiiii... Ooooh... Disepongiiin samaaa kakaaak tercintaaaa...!! Ennnggh...” ujarnya dengan kurang ajar namun justru membuatku semakin bersemangat.
“Eeemmm… Terus udah nggak pusing lagi kan sekarang? Sluuurrp…” ujarku sinis sembari terus menghisap penis Amar sehingga membuat wajahnya sedikit tersipu.
Terakhir kali aku melakukan oral seks adalah dengan Amar beberapa bulan lalu sebelum aku menikah tentunya. Anehnya lagi, suamiku tidak pernah aku berikan pelayanan seperti ini walaupun dia sudah berulang kali memintanya. Saat ini aku benar-benar layaknya anak kecil yang sedang disuguhi permen. Aku semakin menikmati penis milik Amar, mulai dari mencium, menjilat hingga mengemut sambil mengocok-ngocok batang penis miliknya. Gerakan-gerakan yang aku lakukan ini semakin membuat adikku tampak sangat bergairah.
Seharusnya dari pertama aku bisa saja menolak permintaan adikku untuk melakukan hal yang sebenarnya sudah ingin aku hentikan. Tetapi nafsu birahi mengatakan kepada diriku untuk memuaskan Amar secara seksual.
“Teh…! Teeeh…! Udah dulu yah… Amar nggak mau keluar cuma gara-gara disepong sama Teteh doang… Mendingan kita langsung ngentot aja yuk…!” saran adikku yang langsung mencabut keluar penisnya dari mulut mungilku.
Seketika kewanitaanku terasa ngilu, membayangkan penis adikku masuk mengaduk-aduk liang vaginaku.
“Enggg... Tapi nanti jangan keluarin di dalem ya Mar…” aku memohon dengan suara lemah sambil menatap matanya lekat-lekat.
Adikku tersenyum tipis lantas menjawab “Yaaah… Si Teteh gimana sih… Bukannya Teteh pengen banget punya anak?”
“Emang bener sih... Tapi kan...” suaraku terdengar serak karena tenggorokan ini terasa kering.
“Daripada Mas Sigit belom bisa ngasih anak sampe sekarang… Mending sama Amar aja Teh! Hahaha…” lanjut Amar menyelak kalimatku yang belum selesai.
Mendengar perkataan adikku tadi perasaanku bercampur antara marah sekaligus terangsang memikirkan bagaimana jadinya apabila aku benar-benar hamil dari benih spermanya. Walaupun dari pengalaman bercinta dengan pria lain, termasuk Amar, aku juga tidak yakin kalau rahimku subur. Selama ini mereka hampir selalu mengeluarkan spermanya di dalam vaginaku dan aku tidak pernah hamil. Namun di dalam hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin mengecewakan suamiku apabila nanti aku mengandung anak yang bukan darah dagingnya sendiri.
“Mar... Emang kamu bener-bener mau hamilin Teteh?” bisikku perlahan di telinganya.
Mendengarnya, adikku tidak berusaha langsung menjawab dan hanya menatap wajahku sejenak lalu memagut bibirku. Sungguh saat ini aku benar-benar sudah basah sekali. Vaginaku sudah berlendir, bahkan sudah ada yang meleleh di sekitar pahaku. Amar mulai mengatur kakiku seperti huruf ‘v’ di sisi ranjang dengan mulai menggesekkan penisnya ke bibir vaginaku. Kakiku mengayuh naik dan turun, menunjukkan bahwa vaginaku sudah tidak sabar ingin ditusuk oleh sebuah penis.
Melihat hal tersebut tentu saja membuat adikku tertawa licik karena semakin yakin bahwa diriku sudah benar-benar terangsang.
“Kenapa Teh? Pasti nggak sabar ya memeknya pengen disodok ama kontol Amar… Ngomong dulu... Nanti Amar janji bakalan bikin Teteh keenakan deh...! Hehehe...” ledek adikku.
Wajahku saat ini pasti sudah tampak merona merah tatkala mendengar perkataan adikku sekaligus karena terbayang akan nikmatnya penis Amar saat membelah vaginaku.
“Emmm... Teteh pengen banget digituin Amar...” aku melirih hingga nyaris tidak terdengar.
“Digituin? Kayak gimana yah? Amar nggak ngerti tuh... Maksudnya Teteh pengen dientot kali? Bilang aja kayak gitu... Nggak usah pake jaim-jaim segala kali... Hahaha...” tanya adikku terus melecehkanku.
“I-iya... Teteh pengen ngentot...!! Perkosa Teteh...!! Terserah Amar mau apain Teteh... Udah? Puas kan denger Teteh ngomong kayak gini?” ujarku sedikit ketus namun tetap membuatku tersipu malu.
“Pasti Teteh udah napsu berat ya? Ayooo sini...” adikku mulai menciumi telinga dan leherku walaupun masih dengan wajah terkejut karena tidak pernah menyangka kakaknya dapat berkata vulgar seperti tadi.
“Cepetan dooong Maaaar... Masukiiiiinnnn...!!” kali ini aku merengek lalu menarik tubuh adikku supaya segera menindihku.
“Okeee... Sekarang udah waktunya Teteh ngerasain kontol Amar ya…!” adikku bersiap memasukkan penisnya yang sudah terlihat sangat tegang.
Sementara itu aku hanya memperlihatkan raut wajah pasrah ketika penis Amar mulai memasuki vaginaku dengan semakin dalam. Dia terus menjejali penis tersebut ke liang senggamaku karena ingin menikmati jepitan vagina yang sudah cukup lama tidak dirasakannya. Adikku menusukkan penisnya ke dalam vaginaku seperti orang kelaparan yang tidak makan selama berbulan-bulan. Aku langsung menggoyangnya dari bawah karena tidak ingin kehilangan kenikmatanku.
“Aaaaaaah... Oooooh...!!” ceracau Amar saat penisnya sudah mulai membelah lubang kemaluanku.
“Enggghh...” aku melenguh pelan ketika merasakan benda tumpul tersebut memasuki diriku sedikit demi sedikit.Kedua mataku menjadi saksi ketika batang penis Amar ditekan ke bawah dengan kuat hingga kini sudah berhasil tertanam seluruh bagiannya dari mulai kepala hingga pangkal.
“Busyeeet deeeh Teeeh…!! Ennnggkh… Masiiiih rapeeet aja sih memeknyaaa...!! Oooooh...!!!” komentar adikku berteriak puas ketika merasakan vagina ini mencengkeram erat benda panjang dan keras miliknya.
Dengan sengaja Amar mendiamkan penisnya sejenak menikmati jepitan penuh kenikmatan dari vaginaku. Meski sudah cukup basah namun cairan pelumas di vaginaku belum keluar dengan jumlah yang banyak sehingga masih terasa sedikit perih. Aku menatap sayu wajah Amar yang begitu bernafsu ingin menyetubuhiku.
“Ohhhhkh…!! Mantep beneeer deh nih memeeek... Enaaaak…!!!” celoteh Amar mengomentari liang vaginaku yang menjepit kepala penisnya.
“Eeehhhh... Sssshh... Ooooohhh... Nngghh...” aku hanya dapat mendesah menikmati penis adikku.
Seketika vaginaku terasa penuh oleh penisnya yang tanpa jeda terus menyetubuhiku hingga kami benar-benar sudah sempurna bersetubuh. Digoyangnya pelan batang itu membuatku mendesah perlahan dan setiap dorongan penis itu membuat bibir vaginaku ikut terdorong masuk. Hal ini belum pernah terjadi saat aku sedang melayani suamiku. Tanpa disadari kedua tanganku bergerak ke daerah putingku dan memainkannya. Kupilin-pilin kedua putingku tersebut saat Amar bermain dengan liang senggamaku.
“Aagghhh... Teteeeeh... Ssshhhh...” desis Amar yang semakin merasa nikmat karena seluruh bagian penisnya bagaikan dipijit oleh vaginaku yang rapat dan hangat.
“Auuuuh... Aaaaaaaah...!!” aku menjerit merasakan gelombang kenikmatan menjalar di sekujur tubuh ini.
“E-enaaak kontol Mas Sigit apaaa punyaaa Amaaar Teh? Haaaaah... Nggggh...” tanya adikku di sela-sela persenggamaan kami.
“Aaaaah... Punyaa kamuuu lebiiih enaaak Maaar... Udaaah jangan ngomooongiiin Maaas Sigiiiit...! Terusiiiin ajaaah Maaaar...!!!” jawabku dengan kedua mata terpejam.
Tiba-tiba adikku berdiam diri menghentikan gerakannya. Apa ini karena perkataanku barusan? Atau dia sudah merasa lelah? Mungkin hanya sekedar ingin menikmati penisnya yang tenggelam di dalam vaginaku. Berbagai pertanyaan dan dugaan berkecamuk di dalam pikiranku. Namun beberapa detik kemudian secara perlahan, adikku menarik batangnya dari jepitan vaginaku hingga tersisa ujung kepalanya saja. Dan tanpa dapat aku duga, dia menghantamkan keras-keras hingga seluruh batang penisnya kembali tertelan di dalam vaginaku.
“Ooooooookkh…!!” erangku keras akibat perlakuannya itu.
Berulang kali Amar melakukan hal tersebut hingga membuat vaginaku terasa perih namun basah pada saat yang bersamaan. Akibat gerakan brutal itu, aku merasakan kalau sebentar lagi akan mengantar diriku menuju titik orgasme. Gerakan adikku kian lama semakin cepat. Liang vaginaku kini sudah sedemikian basah, hingga pada setiap tusukan terdengar bunyi gesekan yang sangat jelas. Aliran libido yang meledak seolah memompa tubuh mungilku dan menekannya ke segala arah. Tentu saja hal tersebut menandakan bahwa aku sungguh menikmati perbuatan terlarang ini.
“Aaaakhh…!! Aaaaaah… Maaaar…!!” aku berteriak ketika akhirnya merasakan orgasme.
Beberapa detik lamanya nafasku seperti terhenti merasakan kenikmatan yang begitu hebat. Menyadari aku sudah mencapai puncak, Amar menghentikan tusukannya ketika merasakan penisnya seperti disirami air yang tentu saja itu adalah cairan kewanitaanku.
Setelah cukup lama, Amar mulai menarik lepas penis miliknya dari vaginaku. Wajahnya terlihat bangga ketika melihat penisnya mengkilat dilumuri lendir vaginaku.
“Amar sayang Teteh…” kata adikku layaknya laki-laki yang sedang merayu pasangannya.
“Enngh... Te-teteh juga...” balasku pelan.
“Aaauuuh... Aaaahhh... Aaaaaaaahhh...!!” terdengar nafasku tersengal-sengal ketika Amar kembali memompa vaginaku.
Tubuhku memang mulai melemas seiring dengan orgasme yang sudah kurasakan, namun nafsu birahiku bangkit ketika Amar mulai menyetubuhiku lagi.
“Aaahh… Aaakkhh…!! Aaahhh… Sa-sakiitt…!! pelan-pelaaann dong Maaar…” hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku ketika Amar semakin memperlakukanku dengan kasar.
Tetapi sesungguhnya aku lebih menikmati permainan seperti ini dibanding dengan suamiku yang sangat lembut. Adikku membuat putaran dan menusukkan penisnya lebih dalam. Kadang dia juga menaikkan kecepatan sodokannya lalu tiba-tiba memperlambatnya. Tentu saja hal tersebut membuat emosiku naik dan turun. Walaupun badan ini serasa ingin remuk, namun aku benar-benar merasakan sensasi seks yang benar-benar hebat. Sekitar 10 menit kemudian, aku menyadari bahwa Amar sebentar lagi akan keluar ketika dia menggeram cukup keras dan terus menaikkan kecepatan sodokannya.
“Amaaar… Mauuu keluuaaaar Teeeeh…!!” teriaknya seperti sudah aku duga.
“Maaaar… Ja-jangaaan… Heeeeeh… Ke-keluariiin di dalem yaaah…” pintaku memohon.
“Teeeh... Bu-buka mulutnyaaaa...!!!” ujar Amar yang membuatku lega karena dapat mengerti dengan maksudnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung membuka lebar-lebar mulutku.
“Aaaaaaaaaaagh...!!!!” teriak Amar yang sudah tidak dapat menahan lagi gejolak nafsu di dalam tubuhnya.
Lubang jamur Amar akhirnya menyemprotkan cairan putih kental. Aku pasrah menerima semburan sperma yang sangat banyak namun hampir dapat kutelan semua. Cairan yang menetes di pinggiran mulutku bahkan aku bersihkan hingga tidak tersisa sama sekali. Apalagi rasanya tidak berubah dan masih tetap enak seperti dulu. Amar hanya tersenyum melihat aku terus menjilat seolah tidak memberi kesempatan batang penisnya untuk beristirahat.
“Heeeh... Teteh makin cakep deh kalo lagi nyepong kayak gini...” komentar adikku yang entah merupakan pelecehan atau pujian.
Sesudahnya Amar langsung lunglai di atas tubuhku. Dia kemudian merangkulku ke dalam pelukannya dan mencium keningku. Sungguh romantis adikku ini, bahkan suamiku sendiri tidak pernah melakukannya setelah kami selesai berhubungan badan.
“Enaaak banget Teh…” bisiknya di telingaku hingga hampir tidak terdengar.
Amar kemudian merebahkan tubuhnya di sampingku, sebelum akhirnya mulai tertidur lelap. Terdengar suara dengkurannya yang cukup keras hingga membuatku tertawa tertahan. Karena tidak merasa mengantuk walaupun lelah, aku lalu menatap kosong langit-langit kamar tidurku ini. Pikiranku melayang-layang mengingat kejadian-kejadian yang aku dan Amar sering lakukan sebelum ini. Semua petualangan seks mulai dari pertama kali semua hal ini berawal, yaitu di kamar mandi rumah orangtua kami, kemudian di kamar kami masing-masing hampir setiap malam, di parkiran mobil sebuah pusat perbelanjaan dan masih banyak lagi. Kejadian yang tidak sepantasnya kami lakukan. Namun apabila nafsu sudah menguasai, perbuataan tersebut tidaklah pandang bulu karena yang dikejar hanyalah kepuasan birahi belaka. Kami berdua memang sudah tidak dapat memutar waktu dan merubah semuanya.
Hanya dengan membayangkan kejadian-kejadian tadi sudah membuat vaginaku kembali basah. Masih sangat terasa usapan-usapan telapak tangan Amar yang merayapi pahaku dan juga denyutan-denyutan kenikmatan pada vaginaku. Saat ini jari-jemariku mulai mengusap klitorisku yang rasanya kian membengkak. Tanganku yang satunya lagi meremasi payudaraku yang mungil namun padat serta perlahan-lahan memilin bagian putingnya dengan penuh kelembutan.
“Eemm... Eemmm... Maaaar...” desahku pelan seraya menekan bagian vaginaku hingga tubuh ini semakin menegang.
Kurasakan butir-butir keringat telah mengumpul di sekujur tubuh dan mulai menuruni kulitku yang mulus. Hawa di dalam ruangan sebenarnya cukup sejuk, namun imajinasi liar dan panas ini membuat diriku seperti orang yang sedang mandi. Aku lalu membalikkan badan hingga tidur menyamping membelakangi Amar agar tidak mengganggunya.
“Engggghhhhh... Hhhmmmhhhhh...” ketika menggosok-gosok klitorisku tidak terasa aku mulai mendesah-desah merasakan nikmatnya masturbasi ini.
Ada rasa menggelitik saat jari tengahku bergerak lembut memutari putingku yang semakin meruncing. Sambil melakukan gerakan ini, aku mencoba membayangkan adikku menggerayangi lekuk-lekuk tubuhku yang mulus, kemudian bibirnya yang tebal menghisap puncak payudaraku dan dengan tanpa ampun dia menjebloskan batang penisnya yang keras ke dalam vaginaku.
“M-marrr... Amaaaaar…! Ooooh... Amaaaar…!” aku menyebut nama adikku berulang-ulang saat merasakan kenikmatan yang tiada tara.
“Auhhh…” aku tersentak kaget ketika sebuah tangan memegang bahuku dan tentu saja membuat diriku keluar dari kenikmatan sebuah dunia halusinasi.
“Enak ya Teh masturbasi sambil bayangin Amar? Tapi aslinya bisa bikin Teteh kelojotan kan?” tanya adikku yang rupanya sudah terbangun hingga membuat diriku semakin tersentak.
Adikku yang telah mengetahui bahwa dia baru saja menjadi bahan imajinasiku memasukkan dua jemari tangannya ke dalam lubang vaginaku yang telah basah kuyup. Ketika jari-jari itu ditarik keluar, Amar menghirup aroma lendirku lalu menghisapnya kuat-kuat.
Karena tidak tahan lagi akhirnya aku langsung mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Kedua lidah kami bertemu seketika dalam peraduan adegan yang terlarang ini. Tubuhku seperti menggigil saat ciuman kami semakin liar tanpa kendali. Bibir adikku kini mulai merambat turun ke leherku. Dengan kasar lidahnya menjilati batang leherku dengan kuat. Kedua tanganku melingkar memeluk batang leher adikku sambil terus merintih lirih. Tampaknya Amar terangsang dengan suaraku karena terbukti sekarang dia semakin ganas menjilati batang leherku.
Ketika sedang menikmati perlakuan adikku, tiba tiba saja HP milikku berdering. Tadinya aku berniat untuk tidak mengangkatnya, namun ternyata Amar mengambilnya dan mendekatkan padaku.
“Halo...” terdengar suara dari seberang sana.
“Ha-halo Mas... Ke-kenapa?” aku menjawab panggilan tersebut yang ternyata adalah suamiku.
“Emm... Mas cuma mau bilang kalo nanti pulangnya agak maleman yah... Tadi Mas udah SMS kamu sih... Tapi nggak dibales-bales...” jelasnya.
Sementara itu walaupun adikku telah mengetahui bahwa ini adalah telepon dari kakak iparnya, dengan cuek dia tetap saja meneruskan aktivitasnya. Dalam keadaan seperti ini tentu saja aku harus menjawab dengan nada yang sewajarnya supaya suamiku tidak curiga dan berpikiran macam-macam.
“Ennngh... Ma-maaf Mas… Ta-tadi la-lagi sibuuuk... Aaaah... Ja-jadinya... Mas pu-pulang jam berapaaa?” tanyaku semakin terputus-putus karena tangan Amar kini bermain di sekitar perut dan payudaraku.
“Belom tau juga sih... Soalnya mau ada acara sama temen-temen kantor dulu...” terang suamiku.
“I-iyaaa udaah... Aaaah... Ja-jangaaan... Malem-maleeem pulangnyaaa... Yaah... Ennggh...” kataku semakin tidak jelas karena Amar dengan kurang ajarnya menghisap putingku yang tentu saja membuat gairahku bergejolak.
Aku berusaha agar tidak sampai mengalami orgasme selagi berbicara dengan suamiku. Tidak berani aku membayangkan apa yang akan terjadi bila dia sampai mengetahui yang sedang dilakukan oleh istri dengan adik iparnya saat ini.
“Iya nggak kok... Tapi Mas jadi nggak bisa menuhin janji tadi pagi deh... Tapi pulangnya nanti Mas beliin makanan kesukaan kamu deh...” hibur suamiku karena masih merasa bersalah.
“He-eh... Ng-nggaaak apa-apaaaah kok... Aaaaah... U-udaaaah Maaas... Nggak usah repot-repooot... Ennngh...” pekikku setengah tertahan.
“Nggak ngerepotin kok buat istri paling pengertian kayak kamu... Eh, kamu lagi ngapain sih? Kok ngomongnya ngos-ngosan kayak gitu?” tanyanya penasaran dengan suara nafasku yang memburu.
“Eeeh... Ng-nggak kok... Cu-cuma capek abis nyuci sama jemuur... U-udah dulu ya Mas... Hati-hati ajaah pulangnyaaa...” jawabku lalu segera mematikan HP dan berharap dia tidak menaruh curiga.
Begitu pembicaraan selesai, aku segera menaruh HP dan melepaskan lenguhan yang sejak tadi kutahan-tahan. Aku memandang Amar dengan sedikit kesal sekaligus penuh gairah. Melihat reaksiku barusan dengan cepat Amar kembali menciumi bibir serta leherku yang tadi sempat tertunda. Nafasnya yang hangat mengenai daerah tengkuk mulusku hingga membuat darah ini terasa berdesir.
Gairahku kini tentu saja kembali naik hingga tubuhku sedikit terlonjak serta kedua kakiku dan cairan cintaku mulai keluar dengan jumlah yang cukup banyak.
“Teh... Mas Sigit lembur yah? Waaah...!! Enak dong nih... Amar bisa maen sama Teteh sampe malem... Hahaha...” tebak adikku dengan wajah senang.
“Iyaaaah... Aaaaah.... Udah sekaraaang terusiiin ajaaa...!! Oooooh...” jawabku di antara desahan nafasku.
Kenikmatan yang melandaku ini benar-benar membuatku berubah dari seorang istri yang setia menjadi wanita murahan. Namun sungguh permainan adikku membuat tubuh ini melonjak seperti tersengat listrik. Ketika mataku saling bertatapan dengan matanya yang berbinar-binar liar, aku terlena dalam nyamannya rasa nikmat hingga tidak menyadari saat tangannya sudah berada di bagian selangkanganku lagi.
“Ohhhhhhhhhhhh…!!” aku semakin terangsang saat tangan adikku yang satunya meremas-remas gundukan kecil payudaraku.
Sungguh luar biasa nikmatnya saat telapak tangan Amar yang kasar bergesekan dengan kulit halus payudaraku hingga sulit sekali untuk diungkapkan dalam rangkaian kata-kata.
“Uuuuuhh... Mmmmhhh... Eenaaak... Maaaaar... Amaaaaar... Oooohhhh!!” desahku nakal.
“Heemmm… Sekarang kok Teteh yang napsu sih?” tanya Amar.
Tanpa ada keinginan untuk menjawab, aku terus menikmati remasan-remasan kuat tangannya. Agar lebih nyaman aku memperbaiki posisiku dengan membuka lebih lebar kedua kakiku. Tangan kiri Amar mengelus-elus selangkanganku sedangkan tangan kanannya terus bermain pada payudaraku. Aku menggigit pelan bibir bawahku untuk menahan suara desahan dan rintihan dari bibirku.
“Eeehh… Aaaah… Amaaaarr…!!” aku sedikit terkejut ketika keempat jarinya sudah mulai menggaruk dan memijat-mijat permukaan vaginaku.
Nafasku terasa semakin berat dan sesak saat rasa nikmat itu semakin menjadi-jadi. Gairahku semakin sulit untuk dikendalikan sehingga untuk beberapa detik lamanya aku hanya terdiam pasrah. Melihat seringai mesum pada wajah Amar justru membuat aku terangsang berat.
“Uufffhhh… M-maaar…!! Ooooh…!!” sambil terus mendesah aku memegang tangannya lalu mengarahkan ke bagian klitorisku.
Tubuhku terasa menghangat dan lemas saat jari-jari tangannya sudah berada di bagian paling sensitif dari vaginaku. Aku semakin mendesah nikmat saat tangan adikku terus merayapi bagian intimku. Sudah tentu aku sangat menikmati urutan-urutan Amar di tempat tersebut.
“Eemmmhhh… Ssssshh… Ssssshhhhh… Aaahhhh…!” aku tidak menyadari sejak kapan cairan vaginaku mulai meleleh melalui rekahan vaginaku yang masih rapat.
Aku semakin sering menggelinjang dan menggelepar keenakan saat tangan Amar menjepit dan memilin-milin puting susuku, sementara jemari terlatihnya terus-menerus mengelus serta menggosok-gosok di belahan bibir vaginaku.
“Maaaaar…!! Eemmmh… Maaaar…!!” aku mengejang dengan nafas tertahan saat merasakan vaginaku berdenyut-denyut dengan kuat.
“Aaakhhhh… Teteeeeh keluaaaaaaar…!!! Amaaaaaaaar…!!!!” aku berteriak-teriak seperti orang gila ketika mencapai puncak.
Semburan-semburan cairan hangat yang nikmat itu membuat tubuhku menggigil dengan hebat. Remasan-remasan tangan Amar membuatku semakin terhanyut menikmati klimaksku. Kedua mataku terpejam meresapi sisa-sisa orgasme yang baru saja kualami.
“Teh... Amar pengen ngentot lagi nih... Tapi ganti posisi yah? Sekarang kita pake gaya nungging yuk…!!” ajak adikku dengan pandangan berbinar sambil jakunnya bergerak turun naik tanda sudah sangat bernafsu untuk dapat menyetubuhi kakak kandungnya kembali.
Aku hanya terdiam saat dia sudah membalikkan tubuhku yang masih lelah. Setelah menyandarkan lenganku ke tembok, kedua tangan Amar dengan kuat menarik pinggulku hingga bersentuhan dengan penisnya.
“Siap-siap ya Teh...! Pasti bakalan lebih kerasa sodokan kontol Amar deh...” ujar Amar memperingatkanku.
Yang terjadi selanjutnya adalah Amar merangkul pinggangku kemudian menggesek-gesekkan kepala penisnya pada bibir vagina ini yang masih terasa sangat basah. Penis adikku kini sudah menempel tepat di belakang lubang vaginaku dan mencoba untuk masuk ke dalam liang kenikmatan tersebut.
“Nngghhh… Maaar...!! Nnngghhh…” berkali-kali tubuhku terdesak kuat saat Amar berusaha menjejalkan penisnya.
Kepala penis Amar terus bergesekan dengan bibir vaginaku yang basah oleh lendir-lendir licin yang lengket sebelum akhirnya menekan kuat hingga mulai masuk sepenuhnya. Dapat aku rasakan kedutan-kedutan alat kelamin kami yang sudah menyatu. Batang tersebut terus bergerak-gerak dengan sentakan-sentakan yang kuat dan semakin dalam hingga selangkangan kami saling mendesak. Berkali-kali tubuhku mengejang nikmat saat adikku mulai menggenjot. Genjotan-genjotan kasarnya dipadu dengan goyangan ke kiri dan kanan.
Sekujur tubuhku bergetar hebat menahan rasa nikmat saat batang yang panjang tersebut memasuki liang vaginaku. Aku membenamkan kepalaku ke bantal untuk meredam suara teriakan yang keluar dari mulutku.
“Aaarrgghh..!! Jangaaaan kenceng-kenceeeeng dongg Maaar...!!” erangku panjang ketika penis tersebut semakin dalam memasuki vaginaku.
“Kenapa Teh? Sakit yah?” tanya adikku dengan nada kasihan.
“Eeenghh... Agak sih... Ta-tapi enak kok...” jawabku yang tidak ingin Amar mengakhiri semua ini.
Ketika sudah cukup lama berada di dalam posisi menungging, akhirnya tenagaku habis. Buah pantatku merosot turun serta payudaraku mendarat di atas ranjang. Aku tergeletak tanpa daya dibawah tindihan tubuh Amar ketika tangannya mengelus-ngelus punggungku.
“Sssssshhhh... Sssssshhhhh...” aku meringis menahan rasa nikmat saat penis itu mulai memompa liang vaginaku.
Tubuhku terasa lemas tak bertenaga hingga Amar menghentikan kegiatannya sebentar untuk memberikan kesempatan padaku mengambil nafas. Kemudian dia melanjutkan kembali usahanya melakukan penetrasi. Gempuran demi gempuran batang penis Amar seolah menguras habis tenagaku. Suara helaan nafas kami dan suara penisnya yang beradu dengan selangkanganku saling bersahutan memenuhi kamar ini. Aku terus menikmati setiap sodokan-sodokan batang penis Amar.
Ketika kekuatanku sudah lumayan pulih, pantatku mulai naik ke atas hingga posisiku kembali menungging. Namun kali ini tubuhku ditopang oleh kedua kaki serta tanganku.
“Nahhh... Kayak gitu dong! Teteh emang hebaaattt!” kata adikku memuji.
“Aaahhh... Aahhh... Aaaaaaahhh...” aku merintih lirih merasakan lingkaran otot yang seperti tertarik keluar saat Amar menarik penisnya lalu membenamkan seluruh batangnya sekaligus.
“Gilaaa memeknyaaa Teteeeeh...!! Sumpaaaah... Enaaaaak bangeeeet...!!! Aaaaaaakkh...!!” adikku menggeram.
“Ooooooh...!!! Teteeh jugaa enaaaaak bangeeet adikkuuu sayaaang...!!! Setubuhiii Teteh kamuuuumu iniiii... Aaaaaaah....!!!!” aku merajuk.
Saat adikku menghujam-hujamkan batangnya dalam vaginaku, aku mulai memutar-mutar batang penisnya di dalam liangku dari arah depan. Dia memelukku dan menekan kuat batangnya ke dalam vaginaku. Rambut hitamku jadi terlihat berantakan karena mengikuti arah kepala yang terus terbanting-banting di atas kasur.
“Maaaar...!!!! Oooohh...!!” aku semakin sulit mengendalikan luapan nafsuku saat kedua tangan Amar menggapai payudaraku dan melakukan remasan-remasan lembut.
“Oooooh...!! Aaaaaaah...!! Teteeeeeeeh...!!!!! Amaaar pengeeeen keluaaaaarrrr...!!” teriak Amar yang rupanya hendak mencapai puncak.
“Aaaanghh... Aaaaaaanngghh... Keluaaariiin di daleeeem ajaaa Maaaar...!! Aaaaah...” perintahku sambil mendesah dengan suara sedikit serak.
“Oooohh... Teteeeh jugaaaa keluaaaarrr lagiiiih...!! Ooooohh... Ooohhh... Eenaaaaakkk....!!” aku mengerang-erang ketika mencapai puncak kenikmatan pada saat yang hampir bersamaan dengan Amar.
“Ooookhh... Enaknyaaa memek... Heeeh... Teteeeh... Eeenggh...” celoteh adikku yang sudah mencapai klimaks.
Dengan tanpa ampun penisnya yang terus menyeruak masuk mulai berkedut-kedut. Adikku berkelojotan ketika meraih ejakulasi melalui perantara tubuhku. Semburan demi semburan terus memenuhi rahimku. Dipegangnya pantatku erat-erat supaya semua spermanya dapat masuk ke dalam tubuhku. Aku dapat merasakan siraman lendir kental beberapa kali dalam liang vaginaku dan aku merasakan terbang melayang dan rasa nikmatku sampai ke ubun-ubun. Kami berdua sama-sama menggeram setiap kali adikku menyemprotkan sperma. Aku terus bergidik merasakan nikmatnya air mani yang keluar di dalam vaginaku hingga tetes terakhir. Aku sampai pada puncak terindah dengan berdesir-desirnya air kental keluar dari dalam tubuhku.
“Aaaaaakhhh... Oooooh... Teteeeeeh...!!!” teriak Amar sebelum akhirnya merebahkan diri.
Aku dapat merasakan kehangatan sperma adikku terus mengalir masuk ke dalam liangku. Kami bepelukan kuat sekali. Aku sampai menahan nafasku, sakin kuatnya aku memeluk tubuh adikku. Tidak berapa lama pelukan kami berangsur-angsur melemas. Kini energiku sudah benar-benar habis bersamaan dengan irama nafas adikku yang memburu.
Butir-butir keringat meleleh di tubuh kami berdua yang baru menjalin hubungan terlarang namun nikmat. Amar menatap mataku kemudian menghadiahiku sebuah senyuman yang manis. Aku menyambut senyuman tersebut dengan senyuman manis pula.
“Haaaah... Haaaah... Semoga Teteh bisa cepet hamil ya Maaar...” kataku penuh harap.
“I-iyah... Misalnya Teteh hamil artinya itu anak Amar dan bukan dari Mas Sigit kan?” tanyanya ingin meyakinkan.
“Pastinya anak kita Mar... Tapi anak rahasia kita berdua aja...” bisikku sambil tersenyum penuh arti.
Saat ini kami benar-benar merasa kelelahan. Aku membaringkan kepalaku di dadanya yang kurus. Ada rasa nyaman yang kurasakan saat kedua tangannya memeluk tubuhku yang mungil dan mengusap keringat di tubuhku.
“Makasih ya Mar... Belum pernah Teteh ngerasain kenikmatan kayak gini lagi abis nikah...” ucapku mesra.
“Sama-sama Teh... Amar selalu siap kok muasin Teteh kapan aja...” balasnya dengan mencium pelan pipi dan keningku.
Ketika menyadari kalau saat ini sudah cukup siang, kami bergegas mengenakan pakaian, kemudian menuruni tempat tidur dan menuju ke ruang tamu karena takut jika mertuaku tiba-tiba saja pulang. Sekitar 30 menit kemudian adikku pamit untuk pulang.
“Hhhuuufff...! Lega banget deh rasanya...” akhirnya aku dapat menghela nafas panjang.
Setelah menutup pintu depan, aku kembali masuk ke kamar tidur lalu merayap naik keatas ranjang dan berusaha menenangkan diri sambil berusaha mengusir sisa-sisa kenikmatan yang sudah lama tidak aku alami dengan Amar.
Walaupun ada perasaan berdosa saat melihat wajah suamiku yang tidak pernah mengetahui hal ini. Terkadang peristiwa tersebut membuat aku mengutuk diriku sendiri, namun di sisi lain ada perasaan lapang karena telah menerima sesuatu yang sudah sangat aku rindukan selama ini. Namun mungkin nantinya aku akan berusaha menghindari Amar saat aku sedang main ke rumah orangtua kami di Cibubur atau ketika ada acara keluarga besar, karena apabila ini terus terjadi maka cepat atau lambat suamiku pasti akan mengetahui semuanya.
- Tamat -
“Mas... Udah mau berangkat ya?” aku bertanya kepada suamiku yang sudah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya.
“Iya... Kenapa? Masih kangen ya? Nanti palingan juga pulang cepet kok...” balas suamiku sambil tersenyum.
“Eehmm... Tau nih Mas... Abisnya kita udah lama nggak... I-itu tuh... Enggh... Kan mumpung lagi nggak ada orang di rumah...” aku merengek manja.
“Aduuuh... Mas juga pengen kok... Tapi Mas udah mau berangkat kerja... Takut telat nih... Mas janji deh nanti malem ya...” ujar suamiku yang dapat mengerti dengan maksudku kemudian bergegas ke arah pintu depan.
“Ya udah deh... Hati-hati di jalan ya Mas… Jangan ngebut-ngebut loh... Terus juga inget sama janjinya ya...” ucapku sambil tersenyum manis lalu mencium lembut tangan suamiku.
“Hahaha... Iya… Baik-baik juga ya di rumah...” suamiku tertawa mendengar perkataan istrinya tadi lalu segera menaiki motornya untuk berangkat kerja.
Suamiku yang merupakan seorang pegawai di salah satu Bank pemerintah adalah seorang pekerja keras. Dahulu sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan suamiku ini, namun karena melihat kalau dia mencintaiku dengan tulus akhirnya aku bersedia dinikahi olehnya.
“Huuuffh... Sendirian lagi deh...” gerutuku dalam hati.
Karena sudah tidak bekerja lagi setelah menjadi seorang istri, aku pun mencoba mengisi waktu luang dengan menonton TV, membersihkan rumah dan kegiatan lain yang sering dilakukan oleh ibu rumah tangga. Walaupun aku sudah mencoba usaha menjual pakaian secara online melalui Facebook, namun tetap saja setiap hari rasanya berjalan lama sekali. Akhirnya aku teringat kalau pagi itu aku belum mencuci pakaian. Kemudian aku pun mengambil pakaian kotor dan segera menuju ke kamar mandi.
Setelah sekitar 1 jam berlalu dan sedang bersiap untuk menjemur pakaian, aku mendengar suara pintu pagar rumah dibuka.
“Siapa ya? Apa ibu mertuaku udah pulang?” tanyaku kepada diri sendiri.
Kemudian aku bergegas berjalan ke arah pintu depan dan untuk memastikannya. Ternyata di luar dugaan yang berdiri di depan pintu adalah Amar, adik laki-lakiku. Tentu saja aku tidak menyangka kalau dia yang datang, karena biasanya Amar mengunjungiku pada hari libur saja, itu pun bersama adik-adikku yang lain.
“Eh… Si Amar… Kok tumben? Sendirian aja? Emang lagi nggak ada kuliah?” aku langsung mengajukan banyak pertanyaan kepadanya.
“Teteh bukannya nyuruh masuk malah nanya-nanya Amar sih? Hehehe…” jawab adikku sambil tertawa.
“Oh iya Teteh lupa…! Abis nggak biasanya maen kemari… Ya udah buka aja Mar… Nggak digembok kok…” aku pun jadi ikut tersenyum.
“Amar capek banget nih Teh abis perjalanan jauh...!” adikku berkata sambil membersihkan wajahnya yang berkeringat.
“Ya elaaah...!! Manja amat sih sekarang...! Ayo masuk deh...” aku meledeknya namun tetap membukakan pintu gerbang.
“Tapi ngeliat Teteh rasa capek Amar langsung ilang kok...” ujar adikku sambil memasukkan motornya ke halaman.
“Basi banget deh...!!” kataku lalu mencubit pelan pinggangnya.
Setelah adikku sudah berada di dalam rumah aku mempersilahkan dia untuk duduk di ruang keluarga yang penuh dengan nuansa hijau tua.
“Bentar ya Mar… Teteh lagi mau jemur baju dulu… Kamu tunggu aja di situ yah… Bikin minum aja sana…” suruhku lalu berpamitan.
“Sini Amar bantuin Teh… Lagian nggak sopan banget sih masa tamu disuruh bikin minuman sendiri?” canda adikku.
“Yeee…! Bukannya lebih nggak sopan lagi kalo tamu disuruh bantuin jemur?” balasku.
Amar tersenyum lebar yang memperlihatkan giginya yang berukuran besar. Tapi tentu saja tawaran adikku tadi tidak kutolak. Lagipula lebih meringankan pekerjaanku dan akan lebih cepat selesai. Saat sedang menjemur pakaian, beberapa kali dapat kulihat Amar terus mencuri pandang saat aku sedang memeras bra dan celana dalam milikku. Walaupun aku dan Amar pernah memiliki hubungan yang ‘istimewa’, namun tetap saja aku merasa risih diperhatikan seperti itu. Namun aku pikir tanggung karena sebentar lagi pekerjaan ini selesai dan aku akan ke kamar untuk segera berganti pakaian.
“Amar udah sarapan belum?” tanyaku berbasa-basi sambil terus menggantung pakaian.
“Eh... Be-belon laper kok Teh...” jawab adikku dengan sedikit canggung.
Setelah seluruh pakaian sudah dijemur, aku menyuruh Amar untuk menonton TV di ruang keluarga yang penuh dengan nuansa hijau itu sambil menungguku membersihkan diri dan berganti pakaian.
“Teteh mau kemana sih? Sini ajah... Temenin Amar nonton dong...” panggil Amar sambil menengok ke arahku.
“Iya nanti... Teteh mau mandi dulu... Keringetan nih abis jemur...” jawabku yang kemudian mengambil handuk dari kamar tidur dan bersiap untuk mandi.
Di dalam kamar mandi aku menanggalkan seluruh pakaian hingga terlepas seluruhnya. Kemudian aku mengguyur tubuhku dengan air lalu mulai menggosok badan dari kotoran dan keringat yang melekat. Perlahan dengan penuh perasaan aku membersihkan leherku dengan sabun. Tiba-tiba selintas aku melihat sekelebat bayangan di celah pintu kamar mandi. Rasanya seperti ada orang yang sedang mengintipku.
“Ah... Palingan itu si Amar lagi lewat doang...” hiburku dalam hati lalu kembali melanjutkan ritual mandi yang sempat tertunda.
Sebenarnya aku berniat ingin melupakan bayangan orang yang berdiri di depan tadi. Namun ternyata aku masih dapat melihat kalau sosok tersebut masih berada di depan kamar mandi.
“Apa adikku udah kebelet pengen ke kamar mandi ya? Tapi kok nggak manggil namaku? Atau setidaknya kan bisa ngetok pintu?” berbagai pertanyaan muncul di benak ini.
Tentu saja aku jadi berpikiran kalau adikku memang sengaja ingin mengintipku. Apalagi aku kemudian teringat tingkah lakunya saat kami berdua sedang menjemur pakaian. Lama-kelamaan aku terbawa oleh imajinasiku sendiri yang semakin mendorong gejolak nafsuku. Saat ini tanganku sudah beralih ke bagian payudara.
Aku mengambil sabun lalu kugosokkan ke daerah tersebut hingga busanya menutup sebagian dari buah dadaku yang mungil.
“Ennngggh... Ehhhhm...” pikiran erotisku barusan membuat aku mulai mempermainkan puting susuku hingga aku sedikit menyeringai.
Berikutnya, kugosokkan sabun ke perut, kemudian juga ke pinggang dan pinggul. Seusai menyabuni seluruh bagian tersebut, aku mengambil air untuk disiramkan ke tubuhku. Aku tahu air yang menyiram dan mengaliri tubuh ini akan membuatnya nampak bening dan mulus karena pantulan cahaya yang menerpa. Sesekali aku juga membuat gerakan membungkuk. Dengan cara itu, adikku pasti akan dapat menikmati bongkahan pantatku yang kecil namun cukup padat.
Di saat melakukan ini semua, secara perlahan aku mendesah dalam bayangan kenikmatan birahiku. Setelah yakin bahwa seluruh bagian tubuhku telah bersih, aku mengambil handuk dari gantungan untuk mengeringkannya. Hanya dengan berbalut selembar handuk yang menutupi dari bawah ketiak hingga sejengkal dari pangkal paha aku pun bersiap untuk keluar dari kamar mandi.
Namun di luar perkiraanku ternyata di ruang TV aku mendapati kalau adikku sedang menonton dengan santainya.
“Jangan-jangan tadi bukan Amar? Waduh... Pasti pikiranku aja nih yang ngaco...” ujarku yang jadi merasa bersalah karena sudah menuduhnya.
“Ada acara bagus nggak Mar? Teteh mau ganti dulu yah...” kataku kepada Amar yang mungkin tidak menyangka kalau kakaknya akan keluar dari kamar mandi dengan penampilan seperti ini.
“Eh-eh... I-iya Teh...” sahutnya sambil menatap tanpa berkedip seolah-olah ingin menerkam diriku.
Aku kemudian beranjak pergi dan membiarkan Amar mengawasi lenggak-lenggok tubuhku yang berbalik meninggalkannya. Di dalam kamar aku membuka handuk yang tadi aku gunakan lalu berpakaian lengkap. Karena merasa cukup lelah aku merebahkan tubuh sejenak. Ketika sedang berbaring di tempat tidur sempat terlintas di benakku apakah yang aku lakukan di hadapan Amar tadi akan dianggap seperti sengaja ingin menggodanya? Namun aku berusaha untuk mengabaikan pikiran tersebut hingga tanpa terasa akhirnya aku terlelap dengan cukup pulas.
Dalam keadaan setengah sadar aku dapat mendengar seseorang membuka pintu kamar ini. Keberadaan orang tersebut terasa semakin mendekatiku. Beberapa waktu kemudian ranjang ini terasa bergoyang karena sepertinya dia sudah duduk di sebelahku. Kemudian tiba-tiba dia menindih tubuhku yang masih tengkurap, sementara tangannya meraba-raba betisku. Selanjutnya tangan tersebut mulai merayap naik ke bagian pahaku. Namun karena masih berada di antara alam tidur dan kenyataan, aku mengira saat itu sedang mimpi berhubungan intim dengan suamiku.
Apalagi saat tangan tersebut membelai-belai selangkanganku yang masih tertutup celana dalam itu, aku merasa bahwa itu adalah jilatan-jilatan dari suamiku. Ketika bagian-bagian tubuhku terus disentuh dan digerayangi aku mulai tersadar dari tidurku namun tidak langsung membuka mata.
“Heeeem... Kulit Teteh gue emang mulus banget…” dengan mata terpejam aku masih dapat mengenal jelas suara setengah berbisik tersebut.
Tentu saja jantungku berdetak dengan sangat kencang ketika mendapati kenyataan bahwa pelakunya bukan suamiku melainkan adalah Amar. Karena tidak ingin tangannya merayap lebih jauh lagi maka aku mulai merapatkan kedua pahaku. Adikku rupanya tidak menyerah begitu saja. Tangannya kini mulai berpindah ke daerah payudaraku, yang hanya terlindungi oleh kaos tanpa bra, kemudian meremas-remasnya secara lembut dan perlahan. Jari milik adikku seolah-olah menari diatas dadaku sambil sesekali memilin pelan putingnya.
“Wuiiih... Makin kenyel aja nih toketnya... Hehehe...” lanjut adikku sambil terkekeh pelan.
Diperlakukan sedemikian rupa aku pun akhirnya tidak dapat menahan diri lagi untuk berpura-pura masih terlelap.
“Ya ampuun Amaaar…!! Apa-apaan siih kamu!?” aku lalu membuka mata kemudian berteriak supaya sandiwaraku benar-benar tampak meyakinkan.
“Eeeh... A-amar pengen bangunin doang kok... A-abis Teteh pules amat tidurnya...” kata adikku beralasan.
“Hayooo ngaku aja Mar...! Sebenarnya kamu mau ngapain Teteh sih?” aku mencoba untuk membuat Amar berkata jujur walaupun sebenarnya diriku sudah mengetahui apa yang dia lakukan dari tadi.
“Teeeh… Amar udah pengen bangeeet…!” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut adikku sebelum dia mencumbu bibirku dengan ganas.
“Ja-jangaaaan...!! Inget Mar… Emmmhh... Te-teteeeh kan u-udaaah nikaah…! Teteh nggak mau selingkuh...!!” saat aku tersadar bahwa semua ini salah.
“Ayo dong Teeeh… Sekali ini ajaaaa… Amar bener-bener udah nggak tahan…” adikku merayu dengan tatapan mata yang memelas namun penuh birahi.
“Ta-tapi Mar…” kataku yang hendak beranjak pergi namun tubuhku justru memilih untuk tetap pasrah.
“Rasanya kepala Amar jadi mau pecah gara-gara napsu ngintip Teteh di kamar mandi tadi… Sekarang udah kentang nih...!” keluh Amar yang seolah-olah kejadian ini murni karena kesalahanku.
Walaupun alasan adikku ada benarnya, namun tetap saja aku tidak berniat untuk memancingnya agar berbuat sampai sejauh ini. Tetapi satu hal yang pasti adalah dugaanku memang tepat kalau ternyata orang yang berada di depan pintu saat aku mandi adalah Amar. Beberapa saat kemudian tangan adikku yang kurus melayang lalu mulai meraba-raba pada bagian dadaku.
Mungkin karena belum merasa cukup puas dia menaikkan kaosku ke atas hingga melewati kepala dan membuangnya ke sudut ruangan.
“Hehehehe...” adikku tertawa licik saat melihat payudaraku yang terpampang bebas dengan putingnya yang sudah menonjol karena terangsang.
Memang ukuran payudara tersebut tidak besar, namun sangat proporsional dengan bentuk tubuhku.
“U-udaaah yaaa Maaar... Nanti... Ennngghh... Ada yang liaaat...” aku masih berusaha melarangnya sambil mendesah karena saat ini Amar mulai mencumbui bagian samping leherku.
“Halaaah... Siapa yang bakal ngeliat sih Teh? Kan pada belom pulang ini... Lagipula pintunya udah dikunci kok...” jelas adikku menggunakan berbagai jenis alasan.
Terus-menerus mendapat perlakuan seperti itu, ditambah kenyataan kalau aku dan suamiku sudah lumayan lama tidak berhubungan seks, tentu saja pertahananku akhirnya bobol juga. Birahi binalku muncul kemudian pada saat bersamaan darah ini terasa menggelegar kuat memancarkan gairah liar. Apalagi ketika lidah basah Amar menyapu telak di sepanjang batang leherku.
“Ouuughh... Maaaarrr...!! Ssssshhh...!!” aku sungguh tidak tahan dan mulai menggerakkan tubuh ini dengan gerakan sensual merasakan sensasi dicumbui oleh adikku sendiri.
Patut diakui kalau Amar memang sungguh pandai membangkitkan nafsu birahiku karena dia sudah paham benar titik mana saja yang sensitif untuk merangsangku. Menyadari hal tersebut, ciuman Amar terus merambat turun ke pundakku. Dia menjilatinya hingga aku menggelinjang. Tanpa ingin kehilangan waktu sedetik saja mulut Amar mulai mendarat di payudara kananku. Telapak tangannya meremas-remas payudaraku sambil sekali-sekali ibu jari dan telunjuknya memilin-milin puting susuku. Lidahnya kini bermain-main dengan liar di atas putingku.
Pertama-tama lidah adikku hanya menyapu bagian tersebut saja, namun tidak lama kemudian mulai berjalan memutari seluruh daerah di sekitarnya, sebelum diakhiri dengan menyedot habis puting tersebut hingga pipinya semakin terlihat kempot.
“Aaahhh... Aaahhh... Aaaaahhh...!!” desahanku saat ini terdengar lebih serak.
Diriku yang memang sudah dilanda birahi hanya bisa menikmati saja ketika mulut Amar dengan bibir tebalnya menyiksa puting payudaraku dengan semakin buas.
“Ohh... Geliiii Mar...!” aku memekik.
Rasa tersebut dibarengi dengan mulai tumpahnya cairan-cairan cinta yang membasahi rongga liang senggamaku. Aku sudah kewalahan untuk mengalihkan gairah yang berubi-tubi disusupkan oleh Amar. Gairahku terpompa naik dengan cepat oleh setiap sentuhannya.
“Aaaaaah… A-maaaaaar…!!!!” aku mendesah semakin kencang akibat aksinya.
“Hussshhh...! Jangan keras-keras Teh... Nanti kedengeran tetangga loh...!” ucap adikku mengingatkan.
Mulut adikku kini berganti-ganti menghisap kedua payudaraku. Aku yang sudah sangat terangsang itu mulai mengelus-elus rambut Amar. Padahal sebelumnya aku sudah berjanji dengan diriku sendiri untuk tidak akan pernah lagi melakukan hal seperti ini dengan lelaki lain, termasuk Amar setelah menikah. Gejolak hatiku memang sedang berperang di dalam diri ini, tetapi pada kenyataannya Amar benar-benar sudah menaikkan nafsu birahiku hingga sekarang celana dalam yang kugunakan terasa lembab dan lengket.
Pandangan cabul Amar pada setiap lekuk tubuh ini semakin jelas terpancar dari matanya dan mulai aku rasakan sebagai penambah birahi hingga membuat cairan vaginaku keluar lebih banyak lagi.
“Celananya Amar buka yah…” bisik Amar yang sudah bersiap menarik celana pendekku.
“Maaar…!” kataku yang sesungguhnya berniat untuk menolak.
Namun yang terjadi selanjutnya adalah tangan adikku dengan perlahan-lahan mulai dengan melucuti celana pendek beserta celana dalamku hingga bugil. Bahkan dengan nakalnya Amar menciumi celana dalamku dengan penuh perasaan, lalu menjilati bagian tengahnya yang sudah dibasahi oleh lendir kemaluanku. Melihat tingkah lakunya itu aku malah semakin terangsang dan membuatku merasa seksi.
Sepertinya Amar kini juga sudah mengetahui kalau penolakanku tadi terkesan setengah hati karena pada kenyataannya aku diam saja saat jari-jari panjangnya membelai bibir vaginaku yang sudah basah.
“Eeemmm… Aaahhh... A-amar nggak sabaran banget sih… Eenggh...” kataku yang kini tidak lagi berniat mencegah perlakuannya.
Mendengar ucapanku barusan membuat Amar tersenyum mesum sambil memandang wajahku dengan tatapan lapar.
“Abisnya badan Teteh sangatlah berbahaya bagi jiwa dan kontol Amar sih... Terlalu napsuin...!! Hehehe...” ujarnya berkelakar.
“Huh dasar kamu Mar...! Masih aja sempet ngomong kayak gitu...!” kataku namun jadi ikut tersenyum.
Adikku kemudian menelan ludah saat sedang memandangi bukit gundul yang indah di tengah-tengah selangkanganku. Biarpun Amar sudah sangat sering melihatnya, namun aku yakin tidak akan pernah ada laki-laki yang bosan melihat vagina milikku yang mulus dan sedap dipandang. Apalagi walau sudah menikah, namun kedua bibir vaginaku masih menutup dengan sangat rapat. Warna kulit di sekitar vaginaku juga cukup putih yang tentu saja membuatnya semakin menggoda.
“Uuhhhhhh... Amaaaaar... Nghhhhh...” aku terus merintih dengan nafas tertahan saat dua jari adikku menusuki belahan vagina.
Sensasi yang diperolehku semakin bertambah tinggi. Tubuh kecilku tersentak-sentak oleh efek dari serangannya. Tampak jelas apabila aku sudah memasrahkan diri sepenuhnya dengan membiarkan Amar untuk dapat terus menusuk-nusuk vaginaku yang semakin basah dan memerah.
“Gimana Teteh geulis? Enak banget kan? Sampe banjir kayak gini...” celoteh Amar nakal.
“Ooooooh... Maarrr...!! Sssshhh...!!” desahku kembali terucap.
Setelah puas bermain pada vaginaku yang jepitannya sangat ketat walau hanya dimasuki dengan jari tangan, adik laki-lakiku kemudian menyudahinya. Jari-jari yang tadi bersemayam di dalam rongga kewanitaanku kini tampak basah dan berkilat oleh cairan putih. Amar pun dengan lahap langsung menjilatinya hingga bersih.
Pada saat yang bersamaan tiba-tiba terdengar bunyi SMS masuk ke HP milikku. Namun tentu saja aku yang sedang dilanda gairah tinggi enggan untuk sekedar membaca apa isi pesan tersebut.
“Sekarang Amar pengen ngerasain langsung dari memek Teteh aaah...” imbuh Amar seraya mengarahkan mulutnya di depan liang senggama milikku.
Kemudian dengan tergesa-gesa Amar mulai melebarkan kedua kakiku hingga daerah intim yang berada di tengahnya semakin terlihat jelas. Tanpa memberi ampun lagi, Amar mulai membenamkan wajahnya di selangkanganku. Dia menghirup kuat-kuat aroma dari vagina milikku itu. Jadilah aku semakin bergerak-gerak tidak karuan menerima cumbuannya yang bertubi-tubi pada daerah pribadiku.
“Eeeemmpphh… Sluuurpphhh… Sluuurphhh…” adikku melahap nikmat kemaluan yang dulu jadi santapannya hampir setiap hari.
“Ooohh... Aaah... Oooohh... Uuuunggh...” suara-suara tertahan serta desahan nafasku memecah kesunyian di pagi itu.
Seperti layaknya seekor ular lidah Amar menelusup ke dalam celah vaginaku kemudian menari-nari menyapu pada bagian dalamnya.
“Ssssshhh...!! Uughhh...!! Maaar... Amaaaarrr... Kamuuu pi-pinteeerr bangeeet siiihhh...! Te-terruussshhh...!!! Aaaaaghh...!!” erangku terbata-bata dan terus menggoyang pinggul seiring dengan gerakan lidah kaku Amar yang keluar masuk menyetubuhi vaginaku.
Dengan bantuan kedua tangannya, Amar membuka bibir vaginaku untuk membuat ruang bagi lidahnya. Sentilan ujung lidah adikku membuat tubuhku bergetar seperti disengat aliran listrik. Apalagi saat lidah tersebut kini mencapai bagian klitoris yang membuatku semakin megap-megap merasakan gelombang libido hingga menekan kerongkonganku yang sudah terasa sangat kering.
“Aaaaauuuuuh…” kedua pahaku menutup seketika menjepit kepala Amar saat merasakan ada benda lunak dan hangat yang mengenai bibir kemaluan milikku.
“Memeknya Teteh makin wangi aja nih…! Abis kawin makin rajin dirawat ya Teh?” kata adikku di tengah melancarkan aksinya.
Tanpa menunggu jawaban dariku, Amar pun kembali menjilati vaginaku. Namun kali ini dia lebih banyak menggunakan lidahnya untuk menyentuh bagian klitorisku. Kedua Kombinasi dari kecupan, hisapan dan jilatannya yang liar membuatku menggelepar-gelepar menahan rasa nikmat yang menggelitik.
“Sssshhh… Aaaaaaahhh…!!” aku hanya bisa mendesah kencang karena terangsang.
“Aaaaaahhhh… Mmmmhhh… Hhhmmhhhh…” lirihku yang sudah mulai menyerah pada serangan lidah Amar di bawah sana.
Tidak terbayangkan apa jadinya apabila saat itu suamiku menyaksikan istrinya yang sudah tidak mengenakan penutup apapun, sedang menikmati jilatan pada selangkangannya oleh pria yang tidak lain merupakan adik kandung istrinya sendiri! Namun perasaan itu malah membuatku menggelepar-gelepar merasakan rasa nikmat sekaligus sensasi seks sedarah yang sungguh luar biasa. Adikku juga betul-betul menikmati setiap jengkal dari alat kelamin kakaknya tersebut.
“Aaahhhhh... Terus Maaar...!! Iyaaaah di situ... Ngghh... Te-teeerruuusss...!!!!” kataku sambil terus mengeliat-geliat hingga Amar tambah bersemangat melakukannya.
Jilatan Amar semakin menjadi-jadi, lidahnya menjilat hingga masuk ke lubang vaginaku. Memang aku sudah lama tidak berhubungan seks dengannya, sehingga ada perasaan yang kuat untuk dapat merasakannya kembali.
“Hmmmm… Amaaaaaaar…!! Nikmaaaaat... Sssshh....” desahku sambil menggigit pelan bibir bagian bawah.
“Sluurrrpp... Kata Teteh tadi nggak mau selingkuh? Hmmm....” pertanyaannya sungguh mengejekku.
“Abisnya enaaaak bangeeeet...! Aaaaaaah...” kataku yang sudah gelap mata.
Vaginaku tidak ubahnya seperti makanan yang sangat lezat bagi Amar yang ingin dia nikmati sampai habis. Selangkanganku pun sudah basah kuyup dengan air liurnya yang bercampur dengan cairan vaginaku.
“Ooooouuugh…” tiba-tiba aku merasakan tubuhku bergetar hebat seketika.
Ternyata saat itu Amar sedang bermain pada bagian klitoris dengan lidahnya sekaligus memainkan jari-jari kurusnya pada lubang kenikmatanku. Aliran listrik yang mengejutkan terus aku rasakan menjalar di sekujur tubuh. Dari mulutku terus keluar desahan-desahan lepas dengan suara yang begitu menggairahkan bagi yang mendengarnya. Adikku semakin menggila setelah mencicipi lelehan lendir yang mulai keluar dari vaginaku. Melihatku yang lebih terangsang pada saat tersentuh di bagian klitoris, Amar terus melancarkan serangan-serangan lidahnya pada benda kecil tersebut.
“Aaaaaahhhh… Eemmmhhh… Maaaar…!! Uuuungggh…” aku terus mendesah sejadi-jadinya ketika merasakan nikmat yang luar biasa.
Seperti ingin mempermainkan emosiku Amar terkadang menghentikan jilatannya selama beberapa waktu sembari melihat ke arah wajahku yang saat ini pasti sudah memerah karena dilanda birahi yang tinggi. Hal ini tentu saja membuatku menjadi semakin tersiksa.
“Enak kan dijilatin Amar?” goda adikku di sela-sela aktivitasnya.
“I… I-iyaaaa… Maaar…. E-enaaaakkkhhhh… Ooooooohhhhh…” kataku dengan terbata-bata akibat dirangsang sedemikian rupa.
Amar tersenyum senang setelah mengetahui bahwa mangsanya ini merasakan nikmat dari ulah perbuatannya. Tubuhku semakin menegang dan kakiku menjadi kaku serta kedua pahaku semakin menjepit kepala Amar. Secara spontan aku menekan kepala Amar ke vagina milikku dengan kedua tangan, seperti ingin membekapnya.
“Kalo enak buka pahanya yang lebar dong Teh… Kepala Amar jangan dijepit… Sakit nih…!” canda Amar sembari meremas-remas paha putih mulus milikku.
Tanpa sempat tersenyum mendengar gurauannya, aku langsung melebarkan kedua paha yang tentu saja memberi keleluasaan kepada Amar untuk dapat menikmati vaginaku. Setelah menunjukkan senyum kemenangan pada wajahnya, Amar langsung menyerbu kembali vaginaku dengan gencar. Aku sampai kewalahan dan menggeliat-geliat hebat. Kepalaku mengarah ke kanan dan ke kiri, vaginaku mulai berkedut-kedut serta desahanku begitu lepas. Diriku sangat yakin kalau wanita manapun akan bereaksi sama sepertiku saat ini karena lidah Amar benar-benar lincah bermain.
“Maaaar…!! Amaaaaaar…!!!!” lenguhku sambil memegangi kepala adikku dengan kencang.
“Oooohh.... Oooohhh... Maaar...!! Te-teteeeeeh... Ke-keluaaarr...!!" desahku ketika mencapai orgasme yang diiringi aliran deras lendir kewanitaanku.
“Sssrpphhhh… Sslluuurrpphhh... Nyaaaaaam...” Adikku menyeruput dan menyedot dengan sangat kuat seakan tidak ingin melewatkan satu tetes pun cairan vaginaku.
“Oohh... Oooooohh... Aaaaahh... Aaaaaaahhh...!!” aku mendesah sejadi-jadinya dengan tubuh terus bergerak liar.
“Waaaah… Keluarnya banyak banget sih Teh? Udah luber begini... Hmmmm... Pasti enak banget yah memeknya diisep sama Amar? Sluuuurpphh...” komentar adikku sambil terus menyeruput cairan cintaku yang masih tersisa.
“Huuuaahh... Udaaaah...!! Sttoooopp...!! Ooooohh... Sssshh...” erangku sambil berusaha menjauhkan wajahnya dari selangkanganku karena tidak dapat menahan lagi kenikmatan duniawi ini.
Tetapi adikku justru tidak mau memindahkan mulut dan jilatannya dari vagina yang masih dibanjiri oleh cairan nikmat tersebut. Kini lidah Amar seolah sedang menyeka seluruh belahan vaginaku yang bukan membuatnya menjadi kering melainkan semakin basah. Tanganku mencengkeram erat pada tempat tidur sementara kepalaku bergoyang-goyang dengan liar merasakan kenikmatan yang mendera. Tubuh mungilku terus bergetar keras menahan sensasi yang semakin menggila.
“Sssruuupphh... Gluukkk... Sleeerpphhh... Mmmmm... Enaknyaaa jus memek buatan Teteh... Hehehe...” ujar Amar yang pada ujung bibirnya masih terlihat lelehan cairan kewanitaanku.
“Maaaar… Teteeh… Nggggh…” hanya kata-kata tersebut yang dapat keluar dari mulutku yang sedang terengah-engah dengan nafas panjang dan pendek.
“Kenapa Teh? Enak kan? Mau Amar terusin?” goda adikku.
Aku hanya menghela nafas karena tahu kalau perbuatan kami berdua sudah tidak dapat dihentikan dan akan berlanjut ke tingkat yang lebih jauh lagi. Lagipula Amar masih tampak begitu bernafsu karena dirinya merasa belum terpuaskan. Sebenarnya cukup berat bagiku untuk melayani Amar saat ketika sadar bahwa kini aku telah bersuami. Namun vaginaku yang dari tadi dirangsang membuat gairah seksualku ikut terbangkitkan dan tidak memakai akal sehat lagi.
“Sekarang giliran Amar dong Teh…” pinta adikku yang tanpa malu-malu segera menurunkan celananya tepat di depan wajahku.
“Waaah... Udah keras aja sih Mar?” kataku spontan ketika melihat penis miliknya.
Jantungku bekerja lebih keras ketika melihat penisnya yang sedikit kehitaman kini sudah tampak berdiri tegap dengan sempurna. Apalagi mengingat kenyataan bahwa ukuran kemaluan adikku yang memang jauh lebih besar dibandingkan milik suamiku. Saat mataku bertatapan dengan matanya, aku dapat melihat kalau pandangan Amar begitu liar. Adikku kemudian menelanjangi dirinya sendiri dengan membuka baju miliknya yang masih melekat. Sementara itu aku yang sudah mengerti akan apa yang diinginkan olehnya langsung meraih penis yang sudah sangat tegang itu dengan tangan kananku.
Nafasku semakin kencang saat telapak tanganku mengelus-ngelus batang kemaluan milik adikku yang hangat dan berkedut seperti mahluk hidup.
“Punya Amar tambah gede aja...” bisikku sambil terus sibuk membelai kejantanan Amar.
Sepertinya memang benar kalau benda tersebut memang sedikit lebih besar daripada ketika terakhir kali aku melihatnya. Tanpa merasa perlu terlalu lama berbasa-basi, dengan sangat lembut aku mulai memijat benda tersebut kemudian mengocoknya secara perlahan.
Amar hanya terseyum melihat tingkah kakaknya yang sudah mengerti dengan apa yang dia inginkan tanpa perlu diperintah lagi.
“Eeemmmm... Mmmhhh...” adikku menggumam saat aku mulai meningkatkan irama kocokan pada penisnya.
Aku meremas sekaligus menekan batang penisnya ke arah atas dan bawah lalu mengulang gerakan seperti itu seterusnya. Telapak tangan milikku yang berukuran kecil ini tampak tidak sanggup untuk menggenggam seluruh batang tersebut. Gerakan tanganku yang sudah sangat lancar terus mengocok-ngocok batang kemaluan adikku.
“Hmmmm… Enaaaaak…!! Teteh pasti udah kangen ya sama kontol Amar? Hehehe…” goda adikku sambil tertawa.
“I-iya Mar… Teteh kangeeen…” sahutku pelan.
Dengan tidak sabar aku melingkarkan bibirku pada ujung penis Amar yang tumpul membengkak dan berkedut-kedut. Lubangnya yang mungil kini mulai mengeluarkan sedikit cairan bening. Adikku tentu saja dapat dipastikan sangat menikmati perlakuan dari saudari kandungnya ini.
“Aaaahhh...” adikku melenguh sambil memejamkan mata menikmati setiap gerakan lidahku.
Dalam jarak sedekat itu sudah pasti aroma khas penis Amar semakin jelas tercium oleh hidungku yang kemudian aku hirup kuat-kuat hingga membuatku lupa diri. Di dalam hati ini sudah tidak ada keinginan untuk mengingat atau mungkin karena tidak ingin menerima kenyataan bahwa kami berdua adalah kakak dan adik sekandung. Kurasakan kedua putingku semakin mengeras bersamaan dengan lidahku menyentuh kulit di buah zakarnya. Rasa asin mulai menghinggapi lidahku.
Kuangkat kepalaku ke atas dengan lidahku masih menempel di kulitnya lalu terus bergerak hingga ke ujung kepala penisnya. Lalu aku membuka mulut lebar-lebar dan membimbing penis di dalam genggamanku tersebut untuk masuk ke dalam mulut mungil ini.
“Anjrrriiit...!! Enaaaaak bangeeeet...!!! I-iseeeppp terusss… Yang kuaaaat Teeeeh… Aaaarrrgggh…” perintah Amar sambil menjambak rambutku.
Tidak aku hiraukan perlakuan kasarnya tersebut karena yang tersisa sekarang hanyalah nafsu untuk menghisap-hisap batang panjang milik adikku ini. Aku terus menyedot kuat-kuat hingga Amar mengerang keenakan. Benda itu semakin terasa berdenyut di dalam mulutku.
“Aaaaaghhh...!!! Teteeeeh...” pekik Amar ketika penis kebanggaannya aku telan mentah-mentah masuk ke dalam mulut mungil ini.
“Mmmmmh… Sluuuurp… Nyeeeem...” aku mencoba untuk menelan seluruh bagian penis Amar hingga dia semakin berada di awang-awang.
“Auuuuh… Teteh makin jago aja nih! Oooooh...” puji Amar ketika merasakan sensasi yang ditimbulkan dari hisapan bibirku yang lembut, hangat dan basah.
“Gimana Mar… Sluuuuurp… Rasanya? Hmmmm… Sluuurp…” tanyaku terputus-putus karena saat ini sedang bergantian antara menjilati penisnya secara memutar, memainkan lubang kencingnya lalu mengulum dan menghisap penis tersebut.
“Oooohh... Pastiiinyaaa enaaak Teeeh...! Pagi-pagi beginiiii... Ooooh... Disepongiiin samaaa kakaaak tercintaaaa...!! Ennnggh...” ujarnya dengan kurang ajar namun justru membuatku semakin bersemangat.
“Eeemmm… Terus udah nggak pusing lagi kan sekarang? Sluuurrp…” ujarku sinis sembari terus menghisap penis Amar sehingga membuat wajahnya sedikit tersipu.
Terakhir kali aku melakukan oral seks adalah dengan Amar beberapa bulan lalu sebelum aku menikah tentunya. Anehnya lagi, suamiku tidak pernah aku berikan pelayanan seperti ini walaupun dia sudah berulang kali memintanya. Saat ini aku benar-benar layaknya anak kecil yang sedang disuguhi permen. Aku semakin menikmati penis milik Amar, mulai dari mencium, menjilat hingga mengemut sambil mengocok-ngocok batang penis miliknya. Gerakan-gerakan yang aku lakukan ini semakin membuat adikku tampak sangat bergairah.
Seharusnya dari pertama aku bisa saja menolak permintaan adikku untuk melakukan hal yang sebenarnya sudah ingin aku hentikan. Tetapi nafsu birahi mengatakan kepada diriku untuk memuaskan Amar secara seksual.
“Teh…! Teeeh…! Udah dulu yah… Amar nggak mau keluar cuma gara-gara disepong sama Teteh doang… Mendingan kita langsung ngentot aja yuk…!” saran adikku yang langsung mencabut keluar penisnya dari mulut mungilku.
Seketika kewanitaanku terasa ngilu, membayangkan penis adikku masuk mengaduk-aduk liang vaginaku.
“Enggg... Tapi nanti jangan keluarin di dalem ya Mar…” aku memohon dengan suara lemah sambil menatap matanya lekat-lekat.
Adikku tersenyum tipis lantas menjawab “Yaaah… Si Teteh gimana sih… Bukannya Teteh pengen banget punya anak?”
“Emang bener sih... Tapi kan...” suaraku terdengar serak karena tenggorokan ini terasa kering.
“Daripada Mas Sigit belom bisa ngasih anak sampe sekarang… Mending sama Amar aja Teh! Hahaha…” lanjut Amar menyelak kalimatku yang belum selesai.
Mendengar perkataan adikku tadi perasaanku bercampur antara marah sekaligus terangsang memikirkan bagaimana jadinya apabila aku benar-benar hamil dari benih spermanya. Walaupun dari pengalaman bercinta dengan pria lain, termasuk Amar, aku juga tidak yakin kalau rahimku subur. Selama ini mereka hampir selalu mengeluarkan spermanya di dalam vaginaku dan aku tidak pernah hamil. Namun di dalam hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin mengecewakan suamiku apabila nanti aku mengandung anak yang bukan darah dagingnya sendiri.
“Mar... Emang kamu bener-bener mau hamilin Teteh?” bisikku perlahan di telinganya.
Mendengarnya, adikku tidak berusaha langsung menjawab dan hanya menatap wajahku sejenak lalu memagut bibirku. Sungguh saat ini aku benar-benar sudah basah sekali. Vaginaku sudah berlendir, bahkan sudah ada yang meleleh di sekitar pahaku. Amar mulai mengatur kakiku seperti huruf ‘v’ di sisi ranjang dengan mulai menggesekkan penisnya ke bibir vaginaku. Kakiku mengayuh naik dan turun, menunjukkan bahwa vaginaku sudah tidak sabar ingin ditusuk oleh sebuah penis.
Melihat hal tersebut tentu saja membuat adikku tertawa licik karena semakin yakin bahwa diriku sudah benar-benar terangsang.
“Kenapa Teh? Pasti nggak sabar ya memeknya pengen disodok ama kontol Amar… Ngomong dulu... Nanti Amar janji bakalan bikin Teteh keenakan deh...! Hehehe...” ledek adikku.
Wajahku saat ini pasti sudah tampak merona merah tatkala mendengar perkataan adikku sekaligus karena terbayang akan nikmatnya penis Amar saat membelah vaginaku.
“Emmm... Teteh pengen banget digituin Amar...” aku melirih hingga nyaris tidak terdengar.
“Digituin? Kayak gimana yah? Amar nggak ngerti tuh... Maksudnya Teteh pengen dientot kali? Bilang aja kayak gitu... Nggak usah pake jaim-jaim segala kali... Hahaha...” tanya adikku terus melecehkanku.
“I-iya... Teteh pengen ngentot...!! Perkosa Teteh...!! Terserah Amar mau apain Teteh... Udah? Puas kan denger Teteh ngomong kayak gini?” ujarku sedikit ketus namun tetap membuatku tersipu malu.
“Pasti Teteh udah napsu berat ya? Ayooo sini...” adikku mulai menciumi telinga dan leherku walaupun masih dengan wajah terkejut karena tidak pernah menyangka kakaknya dapat berkata vulgar seperti tadi.
“Cepetan dooong Maaaar... Masukiiiiinnnn...!!” kali ini aku merengek lalu menarik tubuh adikku supaya segera menindihku.
“Okeee... Sekarang udah waktunya Teteh ngerasain kontol Amar ya…!” adikku bersiap memasukkan penisnya yang sudah terlihat sangat tegang.
Sementara itu aku hanya memperlihatkan raut wajah pasrah ketika penis Amar mulai memasuki vaginaku dengan semakin dalam. Dia terus menjejali penis tersebut ke liang senggamaku karena ingin menikmati jepitan vagina yang sudah cukup lama tidak dirasakannya. Adikku menusukkan penisnya ke dalam vaginaku seperti orang kelaparan yang tidak makan selama berbulan-bulan. Aku langsung menggoyangnya dari bawah karena tidak ingin kehilangan kenikmatanku.
“Aaaaaaah... Oooooh...!!” ceracau Amar saat penisnya sudah mulai membelah lubang kemaluanku.
“Enggghh...” aku melenguh pelan ketika merasakan benda tumpul tersebut memasuki diriku sedikit demi sedikit.Kedua mataku menjadi saksi ketika batang penis Amar ditekan ke bawah dengan kuat hingga kini sudah berhasil tertanam seluruh bagiannya dari mulai kepala hingga pangkal.
“Busyeeet deeeh Teeeh…!! Ennnggkh… Masiiiih rapeeet aja sih memeknyaaa...!! Oooooh...!!!” komentar adikku berteriak puas ketika merasakan vagina ini mencengkeram erat benda panjang dan keras miliknya.
Dengan sengaja Amar mendiamkan penisnya sejenak menikmati jepitan penuh kenikmatan dari vaginaku. Meski sudah cukup basah namun cairan pelumas di vaginaku belum keluar dengan jumlah yang banyak sehingga masih terasa sedikit perih. Aku menatap sayu wajah Amar yang begitu bernafsu ingin menyetubuhiku.
“Ohhhhkh…!! Mantep beneeer deh nih memeeek... Enaaaak…!!!” celoteh Amar mengomentari liang vaginaku yang menjepit kepala penisnya.
“Eeehhhh... Sssshh... Ooooohhh... Nngghh...” aku hanya dapat mendesah menikmati penis adikku.
Seketika vaginaku terasa penuh oleh penisnya yang tanpa jeda terus menyetubuhiku hingga kami benar-benar sudah sempurna bersetubuh. Digoyangnya pelan batang itu membuatku mendesah perlahan dan setiap dorongan penis itu membuat bibir vaginaku ikut terdorong masuk. Hal ini belum pernah terjadi saat aku sedang melayani suamiku. Tanpa disadari kedua tanganku bergerak ke daerah putingku dan memainkannya. Kupilin-pilin kedua putingku tersebut saat Amar bermain dengan liang senggamaku.
“Aagghhh... Teteeeeh... Ssshhhh...” desis Amar yang semakin merasa nikmat karena seluruh bagian penisnya bagaikan dipijit oleh vaginaku yang rapat dan hangat.
“Auuuuh... Aaaaaaaah...!!” aku menjerit merasakan gelombang kenikmatan menjalar di sekujur tubuh ini.
“E-enaaak kontol Mas Sigit apaaa punyaaa Amaaar Teh? Haaaaah... Nggggh...” tanya adikku di sela-sela persenggamaan kami.
“Aaaaah... Punyaa kamuuu lebiiih enaaak Maaar... Udaaah jangan ngomooongiiin Maaas Sigiiiit...! Terusiiiin ajaaah Maaaar...!!!” jawabku dengan kedua mata terpejam.
Tiba-tiba adikku berdiam diri menghentikan gerakannya. Apa ini karena perkataanku barusan? Atau dia sudah merasa lelah? Mungkin hanya sekedar ingin menikmati penisnya yang tenggelam di dalam vaginaku. Berbagai pertanyaan dan dugaan berkecamuk di dalam pikiranku. Namun beberapa detik kemudian secara perlahan, adikku menarik batangnya dari jepitan vaginaku hingga tersisa ujung kepalanya saja. Dan tanpa dapat aku duga, dia menghantamkan keras-keras hingga seluruh batang penisnya kembali tertelan di dalam vaginaku.
“Ooooooookkh…!!” erangku keras akibat perlakuannya itu.
Berulang kali Amar melakukan hal tersebut hingga membuat vaginaku terasa perih namun basah pada saat yang bersamaan. Akibat gerakan brutal itu, aku merasakan kalau sebentar lagi akan mengantar diriku menuju titik orgasme. Gerakan adikku kian lama semakin cepat. Liang vaginaku kini sudah sedemikian basah, hingga pada setiap tusukan terdengar bunyi gesekan yang sangat jelas. Aliran libido yang meledak seolah memompa tubuh mungilku dan menekannya ke segala arah. Tentu saja hal tersebut menandakan bahwa aku sungguh menikmati perbuatan terlarang ini.
“Aaaakhh…!! Aaaaaah… Maaaar…!!” aku berteriak ketika akhirnya merasakan orgasme.
Beberapa detik lamanya nafasku seperti terhenti merasakan kenikmatan yang begitu hebat. Menyadari aku sudah mencapai puncak, Amar menghentikan tusukannya ketika merasakan penisnya seperti disirami air yang tentu saja itu adalah cairan kewanitaanku.
Setelah cukup lama, Amar mulai menarik lepas penis miliknya dari vaginaku. Wajahnya terlihat bangga ketika melihat penisnya mengkilat dilumuri lendir vaginaku.
“Amar sayang Teteh…” kata adikku layaknya laki-laki yang sedang merayu pasangannya.
“Enngh... Te-teteh juga...” balasku pelan.
“Aaauuuh... Aaaahhh... Aaaaaaaahhh...!!” terdengar nafasku tersengal-sengal ketika Amar kembali memompa vaginaku.
Tubuhku memang mulai melemas seiring dengan orgasme yang sudah kurasakan, namun nafsu birahiku bangkit ketika Amar mulai menyetubuhiku lagi.
“Aaahh… Aaakkhh…!! Aaahhh… Sa-sakiitt…!! pelan-pelaaann dong Maaar…” hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku ketika Amar semakin memperlakukanku dengan kasar.
Tetapi sesungguhnya aku lebih menikmati permainan seperti ini dibanding dengan suamiku yang sangat lembut. Adikku membuat putaran dan menusukkan penisnya lebih dalam. Kadang dia juga menaikkan kecepatan sodokannya lalu tiba-tiba memperlambatnya. Tentu saja hal tersebut membuat emosiku naik dan turun. Walaupun badan ini serasa ingin remuk, namun aku benar-benar merasakan sensasi seks yang benar-benar hebat. Sekitar 10 menit kemudian, aku menyadari bahwa Amar sebentar lagi akan keluar ketika dia menggeram cukup keras dan terus menaikkan kecepatan sodokannya.
“Amaaar… Mauuu keluuaaaar Teeeeh…!!” teriaknya seperti sudah aku duga.
“Maaaar… Ja-jangaaan… Heeeeeh… Ke-keluariiin di dalem yaaah…” pintaku memohon.
“Teeeh... Bu-buka mulutnyaaaa...!!!” ujar Amar yang membuatku lega karena dapat mengerti dengan maksudnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung membuka lebar-lebar mulutku.
“Aaaaaaaaaaagh...!!!!” teriak Amar yang sudah tidak dapat menahan lagi gejolak nafsu di dalam tubuhnya.
Lubang jamur Amar akhirnya menyemprotkan cairan putih kental. Aku pasrah menerima semburan sperma yang sangat banyak namun hampir dapat kutelan semua. Cairan yang menetes di pinggiran mulutku bahkan aku bersihkan hingga tidak tersisa sama sekali. Apalagi rasanya tidak berubah dan masih tetap enak seperti dulu. Amar hanya tersenyum melihat aku terus menjilat seolah tidak memberi kesempatan batang penisnya untuk beristirahat.
“Heeeh... Teteh makin cakep deh kalo lagi nyepong kayak gini...” komentar adikku yang entah merupakan pelecehan atau pujian.
Sesudahnya Amar langsung lunglai di atas tubuhku. Dia kemudian merangkulku ke dalam pelukannya dan mencium keningku. Sungguh romantis adikku ini, bahkan suamiku sendiri tidak pernah melakukannya setelah kami selesai berhubungan badan.
“Enaaak banget Teh…” bisiknya di telingaku hingga hampir tidak terdengar.
Amar kemudian merebahkan tubuhnya di sampingku, sebelum akhirnya mulai tertidur lelap. Terdengar suara dengkurannya yang cukup keras hingga membuatku tertawa tertahan. Karena tidak merasa mengantuk walaupun lelah, aku lalu menatap kosong langit-langit kamar tidurku ini. Pikiranku melayang-layang mengingat kejadian-kejadian yang aku dan Amar sering lakukan sebelum ini. Semua petualangan seks mulai dari pertama kali semua hal ini berawal, yaitu di kamar mandi rumah orangtua kami, kemudian di kamar kami masing-masing hampir setiap malam, di parkiran mobil sebuah pusat perbelanjaan dan masih banyak lagi. Kejadian yang tidak sepantasnya kami lakukan. Namun apabila nafsu sudah menguasai, perbuataan tersebut tidaklah pandang bulu karena yang dikejar hanyalah kepuasan birahi belaka. Kami berdua memang sudah tidak dapat memutar waktu dan merubah semuanya.
Hanya dengan membayangkan kejadian-kejadian tadi sudah membuat vaginaku kembali basah. Masih sangat terasa usapan-usapan telapak tangan Amar yang merayapi pahaku dan juga denyutan-denyutan kenikmatan pada vaginaku. Saat ini jari-jemariku mulai mengusap klitorisku yang rasanya kian membengkak. Tanganku yang satunya lagi meremasi payudaraku yang mungil namun padat serta perlahan-lahan memilin bagian putingnya dengan penuh kelembutan.
“Eemm... Eemmm... Maaaar...” desahku pelan seraya menekan bagian vaginaku hingga tubuh ini semakin menegang.
Kurasakan butir-butir keringat telah mengumpul di sekujur tubuh dan mulai menuruni kulitku yang mulus. Hawa di dalam ruangan sebenarnya cukup sejuk, namun imajinasi liar dan panas ini membuat diriku seperti orang yang sedang mandi. Aku lalu membalikkan badan hingga tidur menyamping membelakangi Amar agar tidak mengganggunya.
“Engggghhhhh... Hhhmmmhhhhh...” ketika menggosok-gosok klitorisku tidak terasa aku mulai mendesah-desah merasakan nikmatnya masturbasi ini.
Ada rasa menggelitik saat jari tengahku bergerak lembut memutari putingku yang semakin meruncing. Sambil melakukan gerakan ini, aku mencoba membayangkan adikku menggerayangi lekuk-lekuk tubuhku yang mulus, kemudian bibirnya yang tebal menghisap puncak payudaraku dan dengan tanpa ampun dia menjebloskan batang penisnya yang keras ke dalam vaginaku.
“M-marrr... Amaaaaar…! Ooooh... Amaaaar…!” aku menyebut nama adikku berulang-ulang saat merasakan kenikmatan yang tiada tara.
“Auhhh…” aku tersentak kaget ketika sebuah tangan memegang bahuku dan tentu saja membuat diriku keluar dari kenikmatan sebuah dunia halusinasi.
“Enak ya Teh masturbasi sambil bayangin Amar? Tapi aslinya bisa bikin Teteh kelojotan kan?” tanya adikku yang rupanya sudah terbangun hingga membuat diriku semakin tersentak.
Adikku yang telah mengetahui bahwa dia baru saja menjadi bahan imajinasiku memasukkan dua jemari tangannya ke dalam lubang vaginaku yang telah basah kuyup. Ketika jari-jari itu ditarik keluar, Amar menghirup aroma lendirku lalu menghisapnya kuat-kuat.
Karena tidak tahan lagi akhirnya aku langsung mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Kedua lidah kami bertemu seketika dalam peraduan adegan yang terlarang ini. Tubuhku seperti menggigil saat ciuman kami semakin liar tanpa kendali. Bibir adikku kini mulai merambat turun ke leherku. Dengan kasar lidahnya menjilati batang leherku dengan kuat. Kedua tanganku melingkar memeluk batang leher adikku sambil terus merintih lirih. Tampaknya Amar terangsang dengan suaraku karena terbukti sekarang dia semakin ganas menjilati batang leherku.
Ketika sedang menikmati perlakuan adikku, tiba tiba saja HP milikku berdering. Tadinya aku berniat untuk tidak mengangkatnya, namun ternyata Amar mengambilnya dan mendekatkan padaku.
“Halo...” terdengar suara dari seberang sana.
“Ha-halo Mas... Ke-kenapa?” aku menjawab panggilan tersebut yang ternyata adalah suamiku.
“Emm... Mas cuma mau bilang kalo nanti pulangnya agak maleman yah... Tadi Mas udah SMS kamu sih... Tapi nggak dibales-bales...” jelasnya.
Sementara itu walaupun adikku telah mengetahui bahwa ini adalah telepon dari kakak iparnya, dengan cuek dia tetap saja meneruskan aktivitasnya. Dalam keadaan seperti ini tentu saja aku harus menjawab dengan nada yang sewajarnya supaya suamiku tidak curiga dan berpikiran macam-macam.
“Ennngh... Ma-maaf Mas… Ta-tadi la-lagi sibuuuk... Aaaah... Ja-jadinya... Mas pu-pulang jam berapaaa?” tanyaku semakin terputus-putus karena tangan Amar kini bermain di sekitar perut dan payudaraku.
“Belom tau juga sih... Soalnya mau ada acara sama temen-temen kantor dulu...” terang suamiku.
“I-iyaaa udaah... Aaaah... Ja-jangaaan... Malem-maleeem pulangnyaaa... Yaah... Ennggh...” kataku semakin tidak jelas karena Amar dengan kurang ajarnya menghisap putingku yang tentu saja membuat gairahku bergejolak.
Aku berusaha agar tidak sampai mengalami orgasme selagi berbicara dengan suamiku. Tidak berani aku membayangkan apa yang akan terjadi bila dia sampai mengetahui yang sedang dilakukan oleh istri dengan adik iparnya saat ini.
“Iya nggak kok... Tapi Mas jadi nggak bisa menuhin janji tadi pagi deh... Tapi pulangnya nanti Mas beliin makanan kesukaan kamu deh...” hibur suamiku karena masih merasa bersalah.
“He-eh... Ng-nggaaak apa-apaaaah kok... Aaaaah... U-udaaaah Maaas... Nggak usah repot-repooot... Ennngh...” pekikku setengah tertahan.
“Nggak ngerepotin kok buat istri paling pengertian kayak kamu... Eh, kamu lagi ngapain sih? Kok ngomongnya ngos-ngosan kayak gitu?” tanyanya penasaran dengan suara nafasku yang memburu.
“Eeeh... Ng-nggak kok... Cu-cuma capek abis nyuci sama jemuur... U-udah dulu ya Mas... Hati-hati ajaah pulangnyaaa...” jawabku lalu segera mematikan HP dan berharap dia tidak menaruh curiga.
Begitu pembicaraan selesai, aku segera menaruh HP dan melepaskan lenguhan yang sejak tadi kutahan-tahan. Aku memandang Amar dengan sedikit kesal sekaligus penuh gairah. Melihat reaksiku barusan dengan cepat Amar kembali menciumi bibir serta leherku yang tadi sempat tertunda. Nafasnya yang hangat mengenai daerah tengkuk mulusku hingga membuat darah ini terasa berdesir.
Gairahku kini tentu saja kembali naik hingga tubuhku sedikit terlonjak serta kedua kakiku dan cairan cintaku mulai keluar dengan jumlah yang cukup banyak.
“Teh... Mas Sigit lembur yah? Waaah...!! Enak dong nih... Amar bisa maen sama Teteh sampe malem... Hahaha...” tebak adikku dengan wajah senang.
“Iyaaaah... Aaaaah.... Udah sekaraaang terusiiin ajaaa...!! Oooooh...” jawabku di antara desahan nafasku.
Kenikmatan yang melandaku ini benar-benar membuatku berubah dari seorang istri yang setia menjadi wanita murahan. Namun sungguh permainan adikku membuat tubuh ini melonjak seperti tersengat listrik. Ketika mataku saling bertatapan dengan matanya yang berbinar-binar liar, aku terlena dalam nyamannya rasa nikmat hingga tidak menyadari saat tangannya sudah berada di bagian selangkanganku lagi.
“Ohhhhhhhhhhhh…!!” aku semakin terangsang saat tangan adikku yang satunya meremas-remas gundukan kecil payudaraku.
Sungguh luar biasa nikmatnya saat telapak tangan Amar yang kasar bergesekan dengan kulit halus payudaraku hingga sulit sekali untuk diungkapkan dalam rangkaian kata-kata.
“Uuuuuhh... Mmmmhhh... Eenaaak... Maaaaar... Amaaaaar... Oooohhhh!!” desahku nakal.
“Heemmm… Sekarang kok Teteh yang napsu sih?” tanya Amar.
Tanpa ada keinginan untuk menjawab, aku terus menikmati remasan-remasan kuat tangannya. Agar lebih nyaman aku memperbaiki posisiku dengan membuka lebih lebar kedua kakiku. Tangan kiri Amar mengelus-elus selangkanganku sedangkan tangan kanannya terus bermain pada payudaraku. Aku menggigit pelan bibir bawahku untuk menahan suara desahan dan rintihan dari bibirku.
“Eeehh… Aaaah… Amaaaarr…!!” aku sedikit terkejut ketika keempat jarinya sudah mulai menggaruk dan memijat-mijat permukaan vaginaku.
Nafasku terasa semakin berat dan sesak saat rasa nikmat itu semakin menjadi-jadi. Gairahku semakin sulit untuk dikendalikan sehingga untuk beberapa detik lamanya aku hanya terdiam pasrah. Melihat seringai mesum pada wajah Amar justru membuat aku terangsang berat.
“Uufffhhh… M-maaar…!! Ooooh…!!” sambil terus mendesah aku memegang tangannya lalu mengarahkan ke bagian klitorisku.
Tubuhku terasa menghangat dan lemas saat jari-jari tangannya sudah berada di bagian paling sensitif dari vaginaku. Aku semakin mendesah nikmat saat tangan adikku terus merayapi bagian intimku. Sudah tentu aku sangat menikmati urutan-urutan Amar di tempat tersebut.
“Eemmmhhh… Ssssshh… Ssssshhhhh… Aaahhhh…!” aku tidak menyadari sejak kapan cairan vaginaku mulai meleleh melalui rekahan vaginaku yang masih rapat.
Aku semakin sering menggelinjang dan menggelepar keenakan saat tangan Amar menjepit dan memilin-milin puting susuku, sementara jemari terlatihnya terus-menerus mengelus serta menggosok-gosok di belahan bibir vaginaku.
“Maaaaar…!! Eemmmh… Maaaar…!!” aku mengejang dengan nafas tertahan saat merasakan vaginaku berdenyut-denyut dengan kuat.
“Aaakhhhh… Teteeeeh keluaaaaaaar…!!! Amaaaaaaaar…!!!!” aku berteriak-teriak seperti orang gila ketika mencapai puncak.
Semburan-semburan cairan hangat yang nikmat itu membuat tubuhku menggigil dengan hebat. Remasan-remasan tangan Amar membuatku semakin terhanyut menikmati klimaksku. Kedua mataku terpejam meresapi sisa-sisa orgasme yang baru saja kualami.
“Teh... Amar pengen ngentot lagi nih... Tapi ganti posisi yah? Sekarang kita pake gaya nungging yuk…!!” ajak adikku dengan pandangan berbinar sambil jakunnya bergerak turun naik tanda sudah sangat bernafsu untuk dapat menyetubuhi kakak kandungnya kembali.
Aku hanya terdiam saat dia sudah membalikkan tubuhku yang masih lelah. Setelah menyandarkan lenganku ke tembok, kedua tangan Amar dengan kuat menarik pinggulku hingga bersentuhan dengan penisnya.
“Siap-siap ya Teh...! Pasti bakalan lebih kerasa sodokan kontol Amar deh...” ujar Amar memperingatkanku.
Yang terjadi selanjutnya adalah Amar merangkul pinggangku kemudian menggesek-gesekkan kepala penisnya pada bibir vagina ini yang masih terasa sangat basah. Penis adikku kini sudah menempel tepat di belakang lubang vaginaku dan mencoba untuk masuk ke dalam liang kenikmatan tersebut.
“Nngghhh… Maaar...!! Nnngghhh…” berkali-kali tubuhku terdesak kuat saat Amar berusaha menjejalkan penisnya.
Kepala penis Amar terus bergesekan dengan bibir vaginaku yang basah oleh lendir-lendir licin yang lengket sebelum akhirnya menekan kuat hingga mulai masuk sepenuhnya. Dapat aku rasakan kedutan-kedutan alat kelamin kami yang sudah menyatu. Batang tersebut terus bergerak-gerak dengan sentakan-sentakan yang kuat dan semakin dalam hingga selangkangan kami saling mendesak. Berkali-kali tubuhku mengejang nikmat saat adikku mulai menggenjot. Genjotan-genjotan kasarnya dipadu dengan goyangan ke kiri dan kanan.
Sekujur tubuhku bergetar hebat menahan rasa nikmat saat batang yang panjang tersebut memasuki liang vaginaku. Aku membenamkan kepalaku ke bantal untuk meredam suara teriakan yang keluar dari mulutku.
“Aaarrgghh..!! Jangaaaan kenceng-kenceeeeng dongg Maaar...!!” erangku panjang ketika penis tersebut semakin dalam memasuki vaginaku.
“Kenapa Teh? Sakit yah?” tanya adikku dengan nada kasihan.
“Eeenghh... Agak sih... Ta-tapi enak kok...” jawabku yang tidak ingin Amar mengakhiri semua ini.
Ketika sudah cukup lama berada di dalam posisi menungging, akhirnya tenagaku habis. Buah pantatku merosot turun serta payudaraku mendarat di atas ranjang. Aku tergeletak tanpa daya dibawah tindihan tubuh Amar ketika tangannya mengelus-ngelus punggungku.
“Sssssshhhh... Sssssshhhhh...” aku meringis menahan rasa nikmat saat penis itu mulai memompa liang vaginaku.
Tubuhku terasa lemas tak bertenaga hingga Amar menghentikan kegiatannya sebentar untuk memberikan kesempatan padaku mengambil nafas. Kemudian dia melanjutkan kembali usahanya melakukan penetrasi. Gempuran demi gempuran batang penis Amar seolah menguras habis tenagaku. Suara helaan nafas kami dan suara penisnya yang beradu dengan selangkanganku saling bersahutan memenuhi kamar ini. Aku terus menikmati setiap sodokan-sodokan batang penis Amar.
Ketika kekuatanku sudah lumayan pulih, pantatku mulai naik ke atas hingga posisiku kembali menungging. Namun kali ini tubuhku ditopang oleh kedua kaki serta tanganku.
“Nahhh... Kayak gitu dong! Teteh emang hebaaattt!” kata adikku memuji.
“Aaahhh... Aahhh... Aaaaaaahhh...” aku merintih lirih merasakan lingkaran otot yang seperti tertarik keluar saat Amar menarik penisnya lalu membenamkan seluruh batangnya sekaligus.
“Gilaaa memeknyaaa Teteeeeh...!! Sumpaaaah... Enaaaaak bangeeeet...!!! Aaaaaaakkh...!!” adikku menggeram.
“Ooooooh...!!! Teteeh jugaa enaaaaak bangeeet adikkuuu sayaaang...!!! Setubuhiii Teteh kamuuuumu iniiii... Aaaaaaah....!!!!” aku merajuk.
Saat adikku menghujam-hujamkan batangnya dalam vaginaku, aku mulai memutar-mutar batang penisnya di dalam liangku dari arah depan. Dia memelukku dan menekan kuat batangnya ke dalam vaginaku. Rambut hitamku jadi terlihat berantakan karena mengikuti arah kepala yang terus terbanting-banting di atas kasur.
“Maaaar...!!!! Oooohh...!!” aku semakin sulit mengendalikan luapan nafsuku saat kedua tangan Amar menggapai payudaraku dan melakukan remasan-remasan lembut.
“Oooooh...!! Aaaaaaah...!! Teteeeeeeeh...!!!!! Amaaar pengeeeen keluaaaaarrrr...!!” teriak Amar yang rupanya hendak mencapai puncak.
“Aaaanghh... Aaaaaaanngghh... Keluaaariiin di daleeeem ajaaa Maaaar...!! Aaaaah...” perintahku sambil mendesah dengan suara sedikit serak.
“Oooohh... Teteeeh jugaaaa keluaaaarrr lagiiiih...!! Ooooohh... Ooohhh... Eenaaaaakkk....!!” aku mengerang-erang ketika mencapai puncak kenikmatan pada saat yang hampir bersamaan dengan Amar.
“Ooookhh... Enaknyaaa memek... Heeeh... Teteeeh... Eeenggh...” celoteh adikku yang sudah mencapai klimaks.
Dengan tanpa ampun penisnya yang terus menyeruak masuk mulai berkedut-kedut. Adikku berkelojotan ketika meraih ejakulasi melalui perantara tubuhku. Semburan demi semburan terus memenuhi rahimku. Dipegangnya pantatku erat-erat supaya semua spermanya dapat masuk ke dalam tubuhku. Aku dapat merasakan siraman lendir kental beberapa kali dalam liang vaginaku dan aku merasakan terbang melayang dan rasa nikmatku sampai ke ubun-ubun. Kami berdua sama-sama menggeram setiap kali adikku menyemprotkan sperma. Aku terus bergidik merasakan nikmatnya air mani yang keluar di dalam vaginaku hingga tetes terakhir. Aku sampai pada puncak terindah dengan berdesir-desirnya air kental keluar dari dalam tubuhku.
“Aaaaaakhhh... Oooooh... Teteeeeeh...!!!” teriak Amar sebelum akhirnya merebahkan diri.
Aku dapat merasakan kehangatan sperma adikku terus mengalir masuk ke dalam liangku. Kami bepelukan kuat sekali. Aku sampai menahan nafasku, sakin kuatnya aku memeluk tubuh adikku. Tidak berapa lama pelukan kami berangsur-angsur melemas. Kini energiku sudah benar-benar habis bersamaan dengan irama nafas adikku yang memburu.
Butir-butir keringat meleleh di tubuh kami berdua yang baru menjalin hubungan terlarang namun nikmat. Amar menatap mataku kemudian menghadiahiku sebuah senyuman yang manis. Aku menyambut senyuman tersebut dengan senyuman manis pula.
“Haaaah... Haaaah... Semoga Teteh bisa cepet hamil ya Maaar...” kataku penuh harap.
“I-iyah... Misalnya Teteh hamil artinya itu anak Amar dan bukan dari Mas Sigit kan?” tanyanya ingin meyakinkan.
“Pastinya anak kita Mar... Tapi anak rahasia kita berdua aja...” bisikku sambil tersenyum penuh arti.
Saat ini kami benar-benar merasa kelelahan. Aku membaringkan kepalaku di dadanya yang kurus. Ada rasa nyaman yang kurasakan saat kedua tangannya memeluk tubuhku yang mungil dan mengusap keringat di tubuhku.
“Makasih ya Mar... Belum pernah Teteh ngerasain kenikmatan kayak gini lagi abis nikah...” ucapku mesra.
“Sama-sama Teh... Amar selalu siap kok muasin Teteh kapan aja...” balasnya dengan mencium pelan pipi dan keningku.
Ketika menyadari kalau saat ini sudah cukup siang, kami bergegas mengenakan pakaian, kemudian menuruni tempat tidur dan menuju ke ruang tamu karena takut jika mertuaku tiba-tiba saja pulang. Sekitar 30 menit kemudian adikku pamit untuk pulang.
“Hhhuuufff...! Lega banget deh rasanya...” akhirnya aku dapat menghela nafas panjang.
Setelah menutup pintu depan, aku kembali masuk ke kamar tidur lalu merayap naik keatas ranjang dan berusaha menenangkan diri sambil berusaha mengusir sisa-sisa kenikmatan yang sudah lama tidak aku alami dengan Amar.
Walaupun ada perasaan berdosa saat melihat wajah suamiku yang tidak pernah mengetahui hal ini. Terkadang peristiwa tersebut membuat aku mengutuk diriku sendiri, namun di sisi lain ada perasaan lapang karena telah menerima sesuatu yang sudah sangat aku rindukan selama ini. Namun mungkin nantinya aku akan berusaha menghindari Amar saat aku sedang main ke rumah orangtua kami di Cibubur atau ketika ada acara keluarga besar, karena apabila ini terus terjadi maka cepat atau lambat suamiku pasti akan mengetahui semuanya.
- Tamat -
Daftar Chapter